Tubuhmu di Sini, Jiwa Terjual ke Algorithm

Statistik menunjukkan 60% pekerja di negeri ini mengalami gejala depersonalisasi dan kelelahan emosional kronis—sebuah angka yang lebih tinggi daripada jumlah penduduk Jawa Barat. Ironisnya, kita menyebut ini "kemajuan teknologi". Kamu duduk menatap layar, jemari menari di atas keyboard, sementara algoritma menggerogoti sisa-sisa kemanusiaanmu. Dunia mengagumi kecepatan, tapi lupa bahwa manusia bukan mesin yang bisa di-reboot. Dalam pusaran yang makin cair ini, yang hilang bukan cuma privasi, tapi kemampuan untuk merasa hidup. Mari bedah bersama ilusi kemajuan yang diam-diam membunuh kita pelan-pelan.


Setiap kali membuka Instagram, kamu menyulap diri jadi hedonis pamer brunch avocado toast. Beralih ke LinkedIn, tiba-tiba berubah menjadi robot berkemeja yang memamerkan achievement. Sementara di Twitter, kamu jadi pemberontak yang siap membakar sistem. Zygmunt Bauman menyebutnya liquid identity—identitas yang larut dalam gelas-gelas media sosial . Ini bukan kebebasan berekspresi, tapi pabrikasi kepribadian yang dikendalikan algoritma. Hasilnya? Generasi yang merasa asing dengan dirinya sendiri, terperangkap dalam kurator persona. Penelitian Arum Ratna Dewi membuktikan paparan standar sukses palsu sejak kecil menciptakan kecemasan akut—bayangkan anak umur 10 tahun sudah merasa gagal karena tak punya followers sebanyak temannya .


Bos mengirimi email pekerjaan pukul 23.00? Kamu buru-buru membalas demi dianggap dedicated. Platform freelancer menjajakan mimpi fleksibilitas, tapi yang terjadi adalah perbudakan tanpa batas—proyek selesai, bayaran tertunda, sementara ratingmu bisa anjlok karena satu klien galak. Laporan World Economic Forum 2025 memprediksi matinya profesi seperti teller bank atau desainer grafis, digantikan mesin yang tak perlu cuti atau tunjangan kesehatan . Survei Lembaga Penelitian Kesehatan Mental membongkar fakta pahit: 60% pekerja Indonesia mengalami burnout . Gejalanya bukan sekadar lelah, tapi depersonalisasi—perasaan terpisah dari tubuh sendiri. Lihatlah ini sebagai epidemi diam-diam: produktivitas menjadi altar tempat kita mengorbankan kemanusiaan.


Hoaks penghapusan pelajaran agama bisa memicu kepanikan massal dalam hitungan jam . Siklus berita 24 jam menyajikan kebenaran versi algoritma—yang penting cepat, bukan akurat. Di tengah banjir data, kita tenggelam dalam kebodohan kolektif. Cancel culture adalah monster buasnya: satu komentar sembrono 10 tahun lalu bisa menghancurkan karier yang dibangun puluhan tahun. Kasus Deddy Corbuzier dan Rachel Vennya membuktikan betapa rapuhnya reputasi di tangan massa digital . Solidaritas online? Ia datang bak badai, menghancurkan segalanya, lalu meninggalkan kehampaan. Kita jadi hakim sekaligus terpidana dalam pengadilan tanpa hukum.


Menolak fluiditas digital sama bunyinya dengan berteriak pada tsunami. Solusinya bukan lari, tapi membangun kapal yang cukup tangguh. Pertama, digital detox bukan pilihan—ia jadi kebutuhan survival. Kedua, literasi digital harus melampaui sekadar cara pakai aplikasi; ia perlu mencakup etika dan kesadaran kritis. Ketiga, kompetensi abad 21 seperti berpikir kritis dan kreativitas adalah pelampung terakhir . Tapi jangan lupakan akar: spiritualitas dan refleksi batin bukan ritual kuno, tapi senjata melawan derasnya arus. Meditasi dan doa mengingatkan bahwa kamu manusia, bukan avatar.


Kita tak bisa kembali ke zaman "modernitas padat" di mana identitas dan pekerjaan tetap stabil. Tapi kita bisa merancang diri seperti perahu yang tak tenggelam meski dihantam gelombang terbesar. Mulailah dengan mematikan notifikasi pukul 21.00. Lanjutkan dengan membatasi persona digital maksimal dua versi. Akhiri dengan menyadari bahwa likes tak akan pernah menggantikan pelukan. Jika kamu masih merasa hidup dalam sirkus digital ini, mari bertukar cerita. Follow @mindbenderhypno—kadang kita butuh orang gila untuk mengingatkan apa arti waras. Versi dirimu yang mana yang sedang membaca tulisan ini?

Comments

Popular posts from this blog

Dikira Marah-marah Hanya karena Caps Lock: Absurditas Bahasa Digital Anak Muda

Pengaruh Musik Keras pada Emosi dan Mood

Beyond 9-to-5: Ciptakan Batasan Sehat & Work-Life Balance dengan Hipnoterapi