Tiga Mahasiswa, Satu Poster, dan Sejuta Ketakutan Rezim Akan Kalimat Tajam

Kapan terakhir kali kamu melihat poster sederhana bikin aparat panik lebih dari laporan intelijen? Tiga mahasiswa muda membentang secarik kertas penuh sindiran, dan dalam sekejap, seragam hitam-hitam bergerak lebih cepat dari tukang parkir pas Ramadan. Mereka dibanting, posternya disobek, dan tentu saja, nalar publik pun terkoyak. Di ruang yang katanya bebas menyuarakan pendapat, justru poster-poster kecil jadi musuh negara. Ironis? Nggak. Konyol? Banget. Dan lebih konyol lagi karena ternyata semua ini bermula dari aksi damai di depan orang yang mengklaim ingin mendengar suara rakyat. Tulisan ini mengajakmu merenung, mengutuk, dan—kalau bisa—menyusun ulang definisi demokrasi versi kita hari ini.


Siang hari, tempat makan sederhana. Tiga pemuda berdiri dengan tenang. Mereka bukan penyusup, bukan pemilik bom molotov, bukan penyebar hoax. Hanya pemegang kata-kata yang berani, bertinta tebal di atas poster murahan. Namun reaksinya? Seolah mereka mengacungkan senjata kimia di tengah jam makan siang. Dua orang dibanting, satu ditarik, poster direbut, aspirasi dirampas. Apa karena yang ditulis terlalu menyakitkan? Bisa jadi. Tapi bukan menyakitkan karena fitnah, melainkan karena terlalu jujur untuk perut kekuasaan yang alergi kritik. Tak butuh teori konspirasi atau komentar ahli strategi politik untuk tahu: mereka dibungkam hanya karena tak diundang dalam makan siang, tapi diundang oleh nurani.


Pembelaan klasik segera muncul. Katanya prosedur. Katanya pengamanan. Katanya menjaga ketertiban. Tapi satu hal yang dilupakan oleh para pembela: ketertiban macam apa yang membuat suara rakyat harus ditekan lebih dulu baru kemudian diajak makan bareng? Kalau semua kritik harus dibungkam dulu sebelum didengar, sebaiknya ubah saja undang-undang dasar: demokrasi diganti jadi domokrasi—dompet dulu, suara belakangan.


Alibi pengamanan semakin terdengar absurd ketika reaksi lebih heboh dibanding aksi. Tiga pemuda dengan selembar poster dilabeli “pengganggu stabilitas makan siang VVIP”. Sayangnya, negara ini belum belajar membedakan antara ancaman dan kejujuran. Sebab dalam struktur kekuasaan, poster itu lebih menyeramkan daripada berita bohong. Karena poster itu nyata, dan menyentil harga diri mereka yang tak tahan dikritik tapi rajin pamer kedekatan dengan rakyat.


Yang paling kocak? Setelah dibanting dan dibekuk, ketiganya malah diajak makan siang. Ya, benar. Seolah setelah patah leher martabatmu, masih harus tersenyum di hadapan penguasa dan ikut menyantap nasi yang mungkin lebih dingin dari sikap aparat. Kamu pernah lihat pelaku dijamu oleh yang "terganggu"? Ini bukan diplomasi. Ini teater keputusasaan.


Kalau memang mau berdialog, mengapa tidak dilakukan sebelum insiden viral? Mengapa tidak dilibatkan sejak sebelum poster dibentangkan? Mungkin karena pihak yang ingin 'berdialog' sebenarnya lebih takut pada kalimat jujur ketimbang teror. Ketakutan itu bukan karena mereka tak mengerti kritik. Justru sebaliknya: mereka sangat paham, makanya buru-buru dilenyapkan.


Aksi damai mahasiswa itu bukan kejadian tunggal. Ini bagian dari pola. Pola bagaimana kekuasaan bereaksi lebih cepat terhadap kritik dibanding persoalan rakyat itu sendiri. Poster-poster dengan tulisan nyeleneh, tajam, dan tepat sasaran selalu mengundang reaksi agresif. Sementara proposal rakyat untuk kejelasan pendidikan, transparansi anggaran, atau akuntabilitas pejabat, malah dipinggirkan. Di negeri yang lidah pejabatnya panjang tapi telinganya pendek, kata-kata bisa dianggap ancaman.


Kritik bukan hanya soal menyalahkan. Kritik adalah tanda bahwa rakyat masih peduli. Tapi sayangnya, kekuasaan hari ini hanya menyukai tepuk tangan, bukan tepok jidat. Yang paling mengganggu mungkin bukan isi posternya, tapi fakta bahwa mahasiswa masih berani berpikir.


Coba bayangkan kamu adalah pemegang kekuasaan, lalu melihat selembar poster bertuliskan “Dinasti Tiada Henti” sambil mengunyah ayam goreng. Panik? Tersinggung? Merasa diserang? Itulah gambaran kekuasaan yang rapuh. Satire dan sarkasme bukan senjata api, tapi daya ledaknya bisa membuat rezim gagap.


Ketika negara menganggap humor politik sebagai bentuk penghinaan, maka kita sedang menghadapi elite yang tidak cukup percaya diri dengan kinerjanya. Poster mahasiswa itu mungkin terlihat receh, tapi justru karena receh itulah ia mengandung daya kritik yang tajam. Karena humor, dalam politik, seringkali lebih mematikan daripada fakta. Dan kalau kamu butuh lima orang berseragam buat mencabut selembar poster, maka sudah jelas: yang sebenarnya butuh dibenahi bukan mahasiswa, tapi kepercayaan dirimu sebagai pejabat.


Sudah waktunya kamu bertanya: kenapa kritik harus dibungkam sebelum didengarkan? Kenapa suara mahasiswa dianggap kriminal saat muncul tanpa undangan resmi? Dan kenapa selalu dibenarkan bahwa penguasa harus dijaga dari kritik, tapi rakyat tidak perlu dijaga dari kekecewaan?


Poster bukan peluru. Kata-kata bukan bom. Tapi kalau kata-kata jujur bisa mengguncang sistem, maka sistem itu sendirilah yang rapuh. Demokrasi bukan berarti semua boleh bicara asal menyenangkan penguasa. Demokrasi berarti siap mendengar hal yang menyakitkan, dan tidak membalasnya dengan tinju.


Jadi, kamu mau terus jadi penonton diam, atau ikut memegang satu poster kecil dan menuliskan kebenaranmu sendiri?


Yuk, kita bahas lebih lanjut soal bagaimana cara menyampaikan kritik yang tepat, bagaimana mengolah emosi politik dengan lebih sehat, atau bahkan bagaimana melatih mental agar tak mudah dikibuli narasi kekuasaan. Follow akun Instagram @mindbenderhypno dan mari berdiskusi—serius, santai, dan tentu saja... tetap pedas.

Comments

Popular posts from this blog

Kalahkan Sindrom Imposter: Hipnoterapi untuk Percaya Diri di Kantor & Karir Impian!

Memanfaatkan Neurofeedback dan Meditasi untuk Kesejahteraan Diri

Melampaui Batas Pikiran: 6 Kunci Fokus dan Produktivitas untuk ADHD