Suami Hilangkan Nyawa Istri: Potret Retak Sistem Perlindungan Perempuan
JN mendatangi tetangganya, RH, pukul 00.00 WIB sambil berkata, "Pung, si Nisa sudah saya bunuh. Terserah sekarang, mau panggil polisi atau serahkan ke massa, nggak apa-apa" . Kalimat ini bukan bukti penyesalan, melainkan performance pasrah yang memanipulasi simpati. Dalam kriminologi, pengakuan spontan pelaku sering jadi taktik untuk mengontrol narasi — memindahkan fokus dari motif ke "keberanian mengaku". Padahal, polisi hingga kini belum menemukan alasan jelas pembunuhan ini , dan dua pisau berlumuran darah yang disita dari TKP membuktikan kekejaman yang terencana.
Yang lebih mengerikan: pengakuan ini justru membuat masyarakat lupa bahwa sebelum RK tewas, tetangga mendengar tangisannya selama 4 jam tapi menganggapnya "ribut rumah tangga biasa" . Kita mudah terpesona oleh teater pelaku, tapi tuli saat korban masih hidup.
Saat JN mengetuk pintu tetangga, ia menggendong anaknya yang baru 14 bulan . Bayangkan trauma yang tersemat pada balita itu: mendengar tangisan ibu, melihat darah, lalu digendong ayahnya yang baru menghabisi nyawa ibunya. Psikolog forensik menyebut ini secondary victimization, di mana anak menjadi korban ganda: kehilangan pengasuh utama dan dipaksa menyaksikan kekerasan sebagai alat kontrol pelaku .
Tapi sistem kita buta pada luka ini. Laporan polisi hanya mencatat barang bukti pisau dan ponsel , tanpa satupun protokol untuk merehabilitasi psikologi anak. Padahal, ia bisa tumbuh dengan perpetrator-victim complex — mengidolakan pelaku karena terpapar stockholm syndrome sejak bayi. Negara sibuk mengolah TKP, tapi lupa bahwa TKP terbesar ada di ingatan anak yang tak bisa bicara.
Kronologi pembunuhan RK adalah potret gagalnya sistem peringatan dini lingkungan:
- Pukul 19.00 WIB: Tetangga mendengar tangisan dan keributan, tapi tak peduli karena dianggap "biasa" .
- Pukul 23.50 WIB: Tangisan RK berhenti, hanya suara anak yang rewel terdengar .
- Pukul 00.00 WIB: JN baru dihadapi setelah RK jadi mayat .
Inilah akibatnya ketika kita mengkotakkan KDRT sebagai "aib keluarga". UU PKDRT (UU No. 23/2004) sudah memberi kewenangan pada masyarakat untuk melapor, tapi di Ciputat, intervensi baru terjadi setelah korban jadi jenazah berselimut darah . Kita menjerit "kenapa tak ada yang menolong?" tapi ketika tetangga ribut, kita malah mematikan volume.
Media kerap memoles pelaku KDRT yang "menyerahkan diri" sebagai sosok penuh penyesalan. Faktanya, pasrahnya JN adalah bentuk entitlement — ia yakin tak akan dikeroyok massa karena statusnya sebagai "ayah yang menggendong anak". Polisi pun mengaku kesulitan mengungkap motif karena pelaku tak menunjukkan penyesalan .
- Taktik Distorsi Realitas: Pelaku menggunakan anak sebagai perisai moral untuk meredam amuk massa.
- Bias Gender dalam Penanganan: Jika pelaku perempuan, pengakuan spontan mungkin dicap "histeris", tapi pelaku pria di-frame "berani bertanggung jawab".
Kematian RK bukan cinta yang berujung tragis, melainkan pembunuhan yang bisa dicegah jika tetangga tak mengabaikan jeritannya atau polisi punya sistem respons cepat untuk laporan KDRT. Pengakuan "jujur" JN hanyela topeng untuk menyembunyikan kebengisan — dan kita semua sedang diuji: masih mau percaya drama pelaku, atau mulai menyimak bisik korban yang masih hidup?
Jika kamu muak dengan siklus kekerasan yang berulang, mari ubah cara kita merespons:
- Jangan Abaikan Suara Keras di Rumah Tetangga — Laporkan ke RT/RW atau polisi.
- Desak Aparat untuk Respons Cepat Laporan KDRT — Tanpa perlu menunggu jenazah.
- Dukung Rehabilitasi Saksi Anak — Trauma mereka tak boleh jadi footnote kasus.
Follow akun Instagram @mindbenderhypno untuk diskusi lebih dalam. Karena diam bukan netral, tapi pembiaran.
Comments
Post a Comment