Standar Ganda NATO: Ketika Aliansi Jadi Hakim Penjagal Kedaulatan
Kekuatan tanpa legitimasi adalah tirani, tapi legitimasi tanpa akuntabilitas adalah tipu daya. Pernyataan Sekjen NATO Mark Rutte yang membela serangan AS ke fasilitas nuklir Iran bukan sekadar kebijakan luar negeri—ini pengakuan terang-terangan bahwa hukum internasional boleh dibengkokkan selama yang memegang senjata adalah pemilik standar. Dalam satu pernyataan, Rutte menyulap pelanggaran kedaulatan menjadi "tindakan legal", sementara protes ratusan aktivis di Den Haag dan kecaman PBB ia telan bak debu di padang pasir. Di sini, kamu akan melihat bagaimana retorika keamanan dikemas sebagai alat pembenaran kekerasan, mengapa diplomasi hanyadekorasi panggung untuk operasi militer, dan bagaimana krisis Iran-Israel membuktikan bahwa hukum internasional mati di tangan penciptanya sendiri. Siapkan dirimu untuk membedah ilusi tatanan dunia berbasis aturan (rules-based order) yang ternyata hanya topeng bagi hukum rimba.
Mark Rutte menyatakan serangan AS tidak melanggar hukum internasional dengan alasan Iran "tidak boleh mengembangkan senjata nuklir". Klaim ini mengabaikan tiga fakta krusial: Pertama, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tidak pernah menemukan bukti senjata nuklir aktif Iran, meski uranium diperkaya. Kedua, serangan dilakukan saat negosiasi diplomatik masih berlangsung di Jenewa—langkah yang oleh Wakil Menlu Iran disebut sebagai sabotase terhadap proses damai. Ketiga, penggunaan bom "penghancur bunker" GBU-57 yang meluluhlantakkan reaktor nuklir Natanz dan Fordo jelas melanggar Prinsip Proporsionalitas dalam Hukum Humaniter Internasional. NATO sengaja memelintir narasi dengan menempatkan Iran sebagai ancaman eksistensial, padahal catatan menunjukkan Iran hanya membalas setelah fasilitasnya diserang Israel. Alih-alih menjadi penjaga perdamaian, NATO justru menjadi mesin propaganda yang mengubah agresi menjadi "hak pertahanan".
Ketika bom AS menghujani Iran, pasar finansial bergetar bukan karena kepanikan spontan, tapi karena skenario ini sudah dirancang sebagai senjata ekonomi. Lonjakan harga minyak mentah ke US$130/barel—jika Iran memblokade Selat Hormuz—bukan kecelakaan, melainkan kalkulasi yang menguntungkan kompleks industri militer AS. Indonesia pun terjebak dalam skema ini: setiap kenaikan US$1 harga minyak berarti tambahan beban fiskal Rp10 triliun. Jika harga mencapai US$130, defisit APBN membengkak Rp330 triliun—uang yang bisa dialihkan untuk subsidi kesehatan atau pendidikan, tapi kini dipaksa untuk menyelamatkan anggaran dari krisis buatan. Sementara itu, The Federal Reserve siap menunda penurunan suku bunga, memicu pelarian modal dari negara berkembang. AS dan sekutunya bukan cuma menjarah sumber daya melalui perang, tapi juga menciptakan krisis utang sistematis untuk memperkuat cengkeraman ekonomi.
Di depan gedung Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag, ratusan aktivis mengibarkan spanduk "Tolak Perang Iran" tepat sebelum KTT NATO. David Swanson dari World Beyond War menamai NATO sebagai "distributor senjata terbesar dan provokator perang" yang memaksa negara-negara mengalihkan dana publik untuk anggaran militer. Ironisnya, aksi ini diabaikan media arus utama yang sibuk memberitakan pembenaran Rutte. Sekjen PBB Antonio Guterres bahkan memperingatkan bahwa serangan AS membawa dunia ke "ambang kehancuran", tapi peringatannya tenggelam dalam konferensi pers NATO yang penuh tepuk tangan. Perlawanan juga datang dari dalam sistem: Jaksa Agung Inggris Richard Hermer secara diam-diam memperingatkan pemerintahnya agar tidak terlibat serangan ofensif ke Iran karena melanggar hukum internasional. Sayangnya, suara-suara kritis ini diinjak oleh kepentingan politik hawkish yang didorong AS.
Krisis Iran-Israel bukan perang antara dua negara, melainkan pertunjukan kekuatan yang direncanakan untuk melegitimasi dominasi Barat. Dari diplomasi palsu saat AS-Israel menyusun serangan paralel, hingga pembungkaman suara PBB oleh veto Dewan Keamanan, semuanya membuktikan satu hal: hukum internasional hanya berlaku untuk negara yang tak bersekutu dengan pemilik bom nuklir terbanyak. Ketika Rutte berkata "Iran tak boleh punya senjata nuklir", yang ia maksud sebenarnya adalah "hanya NATO yang boleh mengontrol siapa yang memegang senjata pemusnah massal". Jika kita masih percaya pada konsep keadilan, pertanyaannya bukan apakah Iran akan membalas, tapi berapa banyak lagi masyarakat sipil yang harus jadi tumbal sebelum kita menyadari bahwa NATO adalah ancaman terbesar bagi perdamaian?
Follow akun Instagram @mindbenderhypno untuk diskusi tanpa filter tentang hipokrisi geopolitik!

Comments
Post a Comment