Serangan AS-Israel ke Iran dan Konsekuensi yang Tak Terelakkan
Kronologi Serangan dan Skandal Diplomasi
Tanggal 22 Juni 2025 akan tercatat dalam sejarah sebagai hari di Amerika Serikat dan Israel meluncurkan serangan udara koordinatif ke jantung program nuklir Iran. Menggunakan pesawat pengebom B-2 dan bom bunker-buster GBU-57A/B seberat 30.000 pon, mereka menghancurkan situs Natanz, Fordow, dan Isfahan—lokasi yang diawasi ketat oleh IAEA dan dinyatakan bebas bahan radioaktif sebelum serangan. Trump, dalam pidato singkatnya, memberi ultimatum sinis: "Damai atau tragedi lebih besar", seolah-olah pemboman fasilitas sipil adalah tawaran negosiasi. Padahal, hanya dua hari sebelumnya, Menlu Iran Abbas Araghchi masih duduk di Jenewa bersama diplomat Eropa untuk meretas jalan damai. Serangan ini bukan hanya aksi militer; ia adalah pengkhianatan terencana terhadap proses diplomasi yang sedang berlangsung. Araghchi dengan tegas menyebutnya: "Pengkhianatan diplomasi oleh pemerintahan Trump".
Respon Iran? Tegas dan terukur. Esmail Baghaei, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, menegaskan bahwa Teheran berhak membela diri sesuai Piagam PBB. Namun, berbeda dengan retorika AS yang gemar mengobarkan perang, Iran membatasi serangan balasannya hanya pada target militer Israel—bukannya membabi-buta. Ini bukan defensif emosional, tapi langkah strategis yang menunjukkan kedewasaan berpolitik. Sementara Trump mengancam "lebih banyak tragedi", Iran justru mengajukan protes formal ke DK PBB dan Badan Atom Internasional, meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran hukum internasional yang terang-terangan. Ironisnya, AS yang kerap menggembar-gemborkan rule-based international order justru jadi aktor utama perusaknya.
Hipokrisi AS-Israel yang Terbongkar
Mari kita bicara fakta hukum: Serangan AS-Israel ini melanggar setidaknya tiga pilar utama hukum internasional—Piagam PBB, Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), dan prinsip kedaulatan negara. Pasal 2(4) Piagam PBB melarang penggunaan kekuatan terhadap integritas teritorial negara lain, dan Pasal 51 hanya mengizinkan pembelaan diri jika terjadi serangan bersenjata. Faktanya, Iran tidak menyerang AS atau Israel sebelum pemboman ini. Bahkan, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menegaskan bahwa fasilitas nuklir yang dibom "tidak mengandung bahan radioaktif" dan murni untuk tujuan damai. Lantas, atas dasar apa AS membenarkan agresi ini? Trump mengklaim "menghancurkan ancaman nuklir Iran", tetapi tidak menyertakan satu pun bukti intelijen yang valid. Ini bukan tindakan pencegahan—ini arogansi kekuasaan yang berkostum counter-proliferation.
Di sinilah hipokrisi AS-Israel mencapai puncaknya. Israel, yang sendiri bukan penandatangan NPT dan memiliki senjata nuklir ilegal, menjadi algojo utama penyerangan fasilitas nuklir negara lain. Sementara itu, AS—yang pada 2018 secara sepihak keluar dari Perjanjian Nuklir Iran (JCPOA)—kini menghancurkan sisa-sisa kesepakatan damai itu dengan bom. Menlu Araghchi menyindir tajuk: "Mereka mengkhianati diplomasi, lalu berbicara tentang perdamaian." Tuduhan Iran bukan retorika kosong. Lihatlah pernyataan Menlu Israel Eyal Zamir: "Israel tidak akan berhenti hingga fasilitas nuklir Iran hancur"—sebuah ancaman genosida yang nyaris tak direspons Barat. Dalam hukum internasional, ini disebut state terrorism, tapi bagi AS, Israel adalah "sekutu strategis".
Jika kamu berpikir Iran akan diam setelah fasilitasnya dihancurkan, pikir lagi. IRGC telah mengisyaratkan balasan yang "melampaui perhitungan musuh", dengan fokus pada pangkalan militer AS yang tersebar di Timur Tengah. Dalam pernyataan resminya, IRGC menyebut basis-basis AS di kawasan sebagai "titik kerentanan, bukan kekuatan". Ancaman ini konkret: Dari pangkalan Al-Udeid di Qatar, Al-Dhafra di UAE, hingga Camp Arifjan di Kuwait—semua dalam jangkauan rudal balistik Iran. Strategi ini bukan hanya balas dendam, tapi kalkulasi psikologis: AS harus merasakan kerentanan yang sama seperti yang ia timpakan pada Iran.
Namun, eskalasi bukan satu-satunya skenario. Iran juga membuka front diplomasi multilateral. Mereka mendesak OKI (Organisasi Kerjasama Islam) dan Gerakan Non-Blok untuk mengutuk serangan AS-Israel, sambil menggalang dukungan dari aktor seperti Rusia dan Tiongkok. Langkah ini menunjukkan kecerdasan Teheran: Mempermalukan AS di panggung internasional sambil mempersiapkan opsi militer. Bahkan di tingkat domestik, serangan ini justru menyatukan rakyat Iran—seperti disampaikan Dubes Boroujerdi kepada PBNU: "Doa umat Islam Indonesia sangat berarti bagi kami." Solidaritas global, terutama dari dunia Islam, menjadi senjata tak terlihat yang bisa mengubah peta kekuatan.
Kita telah menyaksikan dua lapisan tragedi: Pertama, penghancuran fisik fasilitas nuklir sipil oleh AS-Israel di bawah dalih palsu "pencegahan". Kedua—dan lebih berbahaya—penghancuran sistem hukum internasional oleh negara yang mengaku penjaganya. Iran, meski berhak membalas lewat jalur militer, memilih kombinasi defensif terukur dan ofensif diplomasi. Ini bukan tanda kelemahan, tapi bukti kematangan berpolitik. Bandingkan dengan pidato Trump yang penuh ancaman: "Damai atau tragedi lebih besar"—seolah perdamaian adalah hadiah bagi yang menyerah pada agresi.
Maka, pertanyaan kritisnya: Bisakah kita masih percaya pada "diplomasi" AS ketika mereka membom negosiator yang sedang duduk di meja perundingan? Sejarah akan mencatat pemboman 22 Juni 2025 bukan sebagai kemenangan Barat, tapi sebagai awal dari erosi kredibilitas mereka di mata Global South. Iran mungkin akan membalas, tapi dampak terparah telah terjadi: AS menjadikan hukum internasional sebagai barang mainan kekuasaan.
"Mereka menyebutnya operasi militer. Saya menyebutnya kriminalisasi diplomasi."
Jika kamu tak ingin jadi penonton pasif dalam panggung politik global ini, follow @mindbenderhypno di Instagram. Mari kita dekonstruksi narasi-narasi penguasa bersama!

Comments
Post a Comment