Ngaku Dibantu Rusia Tanpa Bayar? Serius, Bapak?
Kalimat itu dilontarkan dengan senyum optimis oleh petinggi kita yang kini sedang mondar-mandir dari podium ke podium. Katanya, Indonesia ‘dibantu’ oleh Rusia ketika sedang sangat kesulitan, dan ajaibnya: utang itu tidak perlu dibayar. Eh?
Jika kamu merasa ada yang janggal, selamat—logikamu masih hidup dan belum sepenuhnya dikooptasi oleh retorika politik. Tapi kalau kamu langsung percaya, maka artikel ini hadir buat menampar halus logika yang tertidur. Karena kita perlu bicara bukan hanya soal utang, tapi soal kesadaran. Jangan-jangan, kamu—tanpa sadar—sudah disetir untuk percaya bahwa negara besar memberi segalanya dengan cuma-cuma. Di sini, kita akan menguliti narasi itu, memelintirnya balik dengan logika, lalu menantangmu untuk berpikir lebih dalam.
Satu Angka Tak Pernah Cukup
Katanya, utang Indonesia ‘kecil’ dibanding negara lain. Angka rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) disebut di kisaran 38 sampai 40 persen. Sekilas kelihatan meyakinkan, apalagi kalau dibanding negara-negara besar lain yang angkanya bisa dua hingga tiga kali lipat. Tapi mari kita pertanyakan bersama: sejak kapan angka bisa menjelaskan keseluruhan cerita?
Apa kamu tahu kalau rasio itu dibentuk oleh dua variabel: total utang dan total pendapatan nasional? Nah, jika pendapatan stagnan dan utang naik tipis saja, rasio itu tetap bisa terlihat ‘aman’. Tapi siapa yang harus menanggung pembayaran bunga setiap tahunnya? Tentu bukan politisi yang bicara soal angka sambil mengenakan setelan jas mewah di forum internasional. Itu bebanmu, lewat pajak dan harga barang yang terus naik.
Menyebut utang ‘ringan’ hanya karena persentasenya rendah, itu seperti bilang kucingmu aman dari bahaya karena cuma terinjak motor kecil, bukan truk. Faktanya: dia tetap ke rumah sakit hewan. Jadi jangan telan mentah narasi yang dibungkus dengan angka yang tampak ‘menghibur’. Rasio tidak menghapus fakta bahwa jumlah nominal utang kita sudah tembus ribuan triliun, dan itu terus bertambah setiap tahun.
Kalau Gratis, Berarti Kamu Lagi Dijual
“Rusia bantu kita tanpa minta imbalan.”
Kedengarannya seperti kalimat manis yang cocok di novel-novel drama remaja: seorang pangeran misterius datang membantu, lalu menghilang tanpa jejak, tanpa meminta apapun sebagai balasan. Sayangnya, ini bukan fiksi. Ini geopolitik.
Pertanyaannya: apa iya ada negara sebesar Rusia yang rela memberi bantuan tanpa kontrak, tanpa konsesi, tanpa harapan balasan? Setiap negara punya agenda—dan itu bukan sinis, itu realitas. Kita semua tahu bagaimana negara-negara besar bermain: bantuan hanyalah nama lain dari investasi diplomatik. Kalau nggak dibayar pakai uang, ya bisa lewat kesepakatan dagang, pangkalan militer, dukungan suara di forum internasional, atau izin eksplorasi sumber daya.
Jadi, saat ada narasi bahwa “mereka bantu kita tanpa minta imbalan”, kamu seharusnya curiga, bukan terpukau. Kalau ada orang asing tiba-tiba kasihmu rumah, mobil, dan makanan gratis, kamu juga pasti mikir, kan? Masa sih kamu lebih curiga ke sales properti daripada ke negara yang tiba-tiba dermawan?
Kritis atau Dikendalikan?
Logika itu seperti otot. Kalau nggak dilatih, lama-lama lemah dan mudah dikendalikan. Itulah yang terjadi saat narasi semacam ini dibiarkan berkembang tanpa pengujian. Orang-orang termakan kata-kata manis soal ‘utang ringan’, ‘bantuan ikhlas’, dan ‘hubungan diplomatik yang luar biasa’. Kamu mungkin mendengar narasi itu dari banyak tokoh: di TV, di media sosial, atau bahkan dari keluarga yang mulai ikut-ikutan share video editan absurd.
Ironisnya, sebagian besar dari video itu dibuat dengan niat membentuk persepsi. Bukan menyampaikan fakta. Ada yang bilang Indonesia akan dapat ‘uang gratis’, ada yang bilang Rusia akan bangun sistem pertahanan untuk kita tanpa minta sepeser pun. Padahal, kalau kamu belajar dasar-dasar hipnoterapi, kamu tahu: kata-kata bisa meretas alam bawah sadar, dan itu sedang digunakan untuk mengubah persepsimu terhadap politik.
Yang lebih menakutkan: mayoritas dari kita tidak sadar sedang dihipnosis. Dan parahnya, kita bahkan tidak merasa perlu membuktikan narasi itu secara logis. Kita terlalu nyaman percaya, karena lebih enak hidup dalam mimpi manis daripada kenyataan pahit.
Saat Opini Diubah Jadi Dogma
Mari bicara secara frontal. Jika kamu mendengar satu pihak politik menyebut utang kita aman dan pihak luar membantu tanpa pamrih, kamu wajib mengerahkan rasa skeptismu sepenuhnya. Kamu tidak wajib membenci pihak itu, tapi kamu perlu menguji. Karena saat opini tidak boleh disentuh kritik, maka dia sudah berubah jadi dogma. Dan politik yang dipenuhi dogma hanya akan menghasilkan masyarakat yang malas berpikir.
Tidak ada salahnya mencintai pemimpinmu, mendukung negara yang kamu percaya. Tapi kalau kamu benar-benar cinta negeri ini, maka kamu akan lebih peduli pada logika dibanding loyalitas buta. Kamu akan bertanya: apa dampak kebijakan ini buat masa depan anak-anakmu? Apakah retorika utang ringan akan menyelamatkan petani di kampungmu dari mahalnya pupuk? Apakah bantuan Rusia akan menghapus sistem perizinan koruptif yang bikin usaha lokal mati?
Kalau kamu punya semangat untuk memperluas wawasan, maka kamu harus tahu bahwa kritik adalah bentuk cinta tertinggi terhadap bangsa. Tidak semua yang gratis itu berkat. Kadang, itu umpan. Dan kalau kamu diam, kamu jadi bagian dari sistem yang membiarkan umpan itu ditelan bulat-bulat oleh rakyat yang butuh jawaban, bukan dongeng.
Tips sederhana untuk menghindari jebakan narasi semu:
- Teliti siapa yang bicara dan dalam konteks apa
- Jangan langsung percaya angka tanpa pahami cara menghitungnya
- Cari tahu: apa motif balik dari setiap ‘bantuan’?
- Cermati bahasanya: jika terlalu manis, bisa jadi sedang membiusmu
Jadi, saat ada politisi bicara soal “utang yang ringan” atau “bantuan tanpa pamrih”, kamu sebaiknya tersenyum tipis lalu menjawab dalam hati: “Mas, saya lebih suka logika daripada slogan.”
Kamu sudah baca sejauh ini? Berarti otakmu masih aktif dan nalarmu belum mati. Teruskan itu. Jangan berhenti di sini. Ajak teman-temanmu berpikir. Ajak keluargamu berdiskusi. Latih mental dan logikamu seperti kamu melatih otot: dengan beban. Karena bangsa besar tidak dibentuk dari rakyat yang manut dan diam. Tapi dari kamu yang bertanya, menggugat, dan mau berpikir kritis—bahkan saat semua orang memilih jadi penonton.
Kalau kamu ingin diskusi lebih mendalam dan berbobot seputar kesadaran, hipnoterapi sosial, dan kritik berwawasan, follow akun Instagram @mindbenderhypno. Yuk, upgrade sama-sama. Karena kamu berhak untuk lebih dari sekadar penonton dari drama politik—kamu layak jadi penulis skenarionya.
Comments
Post a Comment