Melawan Arus: Sekolah Rakyat Menggugat Paradigma Pendidikan Elit dengan 9.755 Anak Miskin
Asrama selama ini identik dengan isolasi—tempat anak dijauhkan dari "pengaruh buruk" lingkungan asal untuk dibentuk sesuai standar elit. Gus Ipul membalik logika ini dengan kebijakan kontroversial: orang tua siswa Sekolah Rakyat boleh menjenguk anak kapan pun, kecuali jam belajar. Bukan sekadar kebijakan teknis, ini adalah pernyataan politik: kemiskinan bukan aib yang harus disembunyikan. Dalam kunjungan itu, seorang ayah kuli bangunan bisa duduk di ruang tunggu khusus sambil melihat anaknya praktik jadi chef, atau ibu pemulung menyaksikan putrinya presentasi proyek sains. Interaksi ini menghancurkan stigma bahwa keluarga miskin "tak layak" menyentuh dunia pendidikan berkualitas. Lebih radikal lagi, pemerintah menyediakan ruang kunjungan keluarga di tiap asrama—pengakuan bahwa kehangatan orang tua adalah nutrisi yang tak tergantikan oleh fasilitas mewah apa pun.
Seleksi Tanpa Tes Akademik
Sementara sekolah favorit berdebat tentang nilai UN dan ranking, Sekolah Rakyat memakai parameter kejam: Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN). Hanya anak dari desil 1 dan 2 (keluarga termiskin) yang boleh masuk. Tak ada tes matematika atau bahasa Inggris—hanya verifikasi administrasi dan kesehatan. Gus Ipul dengan tegas menyatakan: "Kami mencari yang paling membutuhkan, bukan yang paling pintar." Ini tamparan untuk sistem yang mengagungkan kecerdasan artifisial. Contohnya Tika (16), anak kuli bangunan penghasilan serabutan, yang bercita-cita jadi chef. Tanpa program ini, mimpinya dikubur di emperan kios. Tapi kebijakan ini juga menyimpan duri: beberapa siswa mengundurkan diri karena tak sanggup tinggal jauh dari keluarga, dan sebagian guru mundur sebelum mengajar. Ini membuktikan bahwa akses fisik saja tak cukup—mentalitas tertindas masih membelenggu.
Kejeniusan tersembunyi Sekolah Rakyat terletak pada desain intervensi berlapis: pendidikan anak hanya satu mata rantai. Pemerintah sekaligus memberdayakan orang tua dengan pelatihan usaha dan modal, plus memperbaiki rumah tak layak huni—seperti yang diterima keluarga calon siswa di Bandung. Logikanya cerdas: mustahil anak fokus belajar jika di rumahnya bocor atau orang tua kelaparan. Tapi ada ironi pedas: dana perbaikan rumah ini berasal dari lelang Rolls-Royce pejabat! Sebuah metafora tajam tentang redistribusi aset yang selama ini timpang. Bahkan siswa yang semula jadi tulang punggung keluarga dilarang bekerja—sebagai gantinya, ortu diberdayakan. Ini langkah berani memutus siklus child labor yang selama jadi kanker sosial.
Sekolah Rakyat bukan sekadar proyek sosial—ia adalah manifestasi perang ideologis melawan kemiskinan struktural. Dengan mengizinkan orang tua menjenguk anak kapan saja, Gus Ipul mengembalikan martabat keluarga miskin sebagai subjek, bukan objik belas kasihan. Seleksi tanpa tes akademik adalah pemberontakan terhadap sistem yang menyembah kecerdasan semu. Namun, keberhasilan program ini ditentukan oleh satu hal: apakah negara konsisten menjadikan keluarga sebagai mitra, atau kembali jatuh dalam jebakan birokrasi? Jika ruang tunggu untuk orang tua hanya jadi pajangan, atau pemberdayaan ekonomi sekadar pelatihan seremonial, maka Sekolah Rakyat akan jadi monumen hipokrisi baru. Tapi jika prinsip "merdeka belajar" benar-benar menyentuh akar rumput, 20.000 anak pertama ini bisa jadi pasukan penjebol tembok ketimpangan. Pertanyaannya: Maukah kita mengakui bahwa kemiskinan adalah dosa kolektif, bukan aib personal?
Pemikiranmu bisa mengubah diskusi—follow @mindbenderhypno untuk melanjutkan debat progresif!

Comments
Post a Comment