Dari Skripsi hingga Gugatan: Ironi Kasmudjo, Dosen yang Jadi Korban Permainan Kata 'Pembimbing Akademik'
Kunjungan Jokowi yang Hanya Menyentuh Permukaan
Jokowi datang ke rumah Kasmudjo dengan senyum dan jabat tangan, mengumbar nostalgia masa kuliah: "Ini kayu jati, ini mahoni, baunya seperti apa..." . Tapi di balik obrolan hangat itu, tersembunyi fakta pilu. Kasmudjo—yang disebutnya "dosen pembimbing akademik"—ternyata hidup dalam kondisi memprihatinkan. Usia senja tanpa jaminan kesehatan memadai, pendapatan pas-pasan, dan kini harus berhadapan dengan gugatan hukum karena kasus yang bukan ulahnya. Apa arti secangkir kopi dan cerita kayu, bila kebutuhan dasar untuk hidup layak tak terpenuhi? Tawaran bantuan hukum hanyalah plester di luka borok yang menganga: simbolik, tanpa menyentuh inti persoalan. Apalagi, UGM sudah menyediakan bantuan hukum—membuat langkah Jokowi terasa sekadar pencitraan kosong .
Polemik Ijazah: Kontradiksi yang Membongkar Kegagalan Kenegarawanan
Pertama, mari kita telusuri kebohongan berlapis. Tahun 2017, Jokowi dengan bangga memperkenalkan Kasmudjo sebagai "dosen pembimbing skripsi"-nya di UGM, bahkan bercerita tentang skripsi mebel yang rampung dalam 6 bulan . Tapi tahun 2025, narasi itu berubah drastis: Kasmudjo kini cuma "pembimbing akademik". Dan ironisnya, Kasmudjo sendiri membantah kedua klaim itu! Ia mengaku hanya asisten dosen tahun 1985, bahkan tak pernah melihat ijazah Jokowi . Kontradiksi ini bukan sekadar salah sebut—ia membuka pintu pertanyaan kritis: "Ngapain kuliah tinggi-tinggi kalau ujungnya ijazah bisa dibeli?"—kalimat sarkas yang kini viral di media sosial. Alih-alih menjawab keraguan publik dengan transparansi, Jokowi malah membawa kasus ini ke ranah hukum, melaporkan pengkritik ke polisi. Sikap defensif ini justru memperkuat kesan: ada yang ingin ditutup-tutupi.
Prioritas yang Salah Kaprah
Inilah paradoks paling menyakitkan: Kasmudjo digugat karena ingin "dimintai keterangan" tentang ijazah Jokowi , tapi tak seorang pun peduli ia harus berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di usia 76 tahun, ia mengaku "tidak siap" menghadapi gugatan—bukan karena tak punya pembela, tapi karena beban psikologis dan fisik yang menggerogoti hidup sepuh . Alih-alih menawarkan advokat, bukankah lebih mulia jika Jokowi memastikan:
- Akses kesehatan gratis untuk penyakit degeneratif di usia senja.
- Penghasilan tambahan sebagai mantan pengabdi pendidikan.
- Perlindungan sosial dari gugatan yang menargetnya sebagai "tumbal" politik.
Bantuan hukum adalah solusi instan untuk masalah permukaan. Tapi yang dibutuhkan Kasmudjo—dan ribuan dosen senior lain—adalah sistem yang menjamin mereka tak mati dalam kesepian dan kesulitan ekonomi. Jokowi sebagai mantan presiden punya sumber daya untuk itu, tapi memilih berhenti di simbolisme.
Polemik Kasmudjo adalah potret buram dua kegagalan sekaligus: kegagalan memuliakan guru, dan kegagalan memimpin dengan integritas. Di satu sisi, publik muak dengan inkonsistensi cerita ijazah yang berubah-ubah. Di sisi lain, kita menyaksikan tragedi kemanusiaan: dosen sepuh yang jadi korban, sementara mantan muridnya sibuk membangun narasi hukum demi menutup kritik. Bukan bantuan hukum yang Kasmudjo butuhkan, melainkan kepastian bahwa sisa hidupnya tak dihabiskan untuk berjuang melawan gugatan dan kemiskinan. Jokowi punya kesempatan menebus kesalahan: akhiri kontroversi ijazah dengan buka data transparan, sekaligus ciptakan program kesejahteraan khusus untuk pendidik senior. Jika tidak, sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang mengorbankan guru demi menyelamatkan citranya sendiri.
Apa pendapatmu?
Ikuti diskusi sengit seputar moralitas elite dan pendidikan di Instagram @mindbenderhypno—ruang di mana kritik tak dibungkam, tapi ditantang untuk mencari solusi.
Comments
Post a Comment