Buntut Rudal ke Iran: Mengapa Upaya Pemakzulan Trump Justru Memperkuat Cengkeramannya?
Trump bukan politisi ceroboh—ia ahli menciptakan krisis lalu memanipulasinya sebagai alat konsolidasi kekuasaan. Serangan ke Iran bukan kebijakan luar negeri gegabah, tapi kalkulasi dingin untuk memancing reaksi emosional Kongres. Dalam 72 jam setelah serangan, tim hukum Gedung Putih telah menyiapkan dokumen pertahanan berjudul "Presidential Prerogative in National Security Emergencies", mengklaim Trump berhak bertindak unilateral mengacu pada Resolusi Kekuasaan Perang 1973 yang sengaja dibuat ambigu. Padahal, resolusi itu justru membatasi wewenang presiden! Di sini Trump bermain dua level: di permukaan, ia tampak sebagai pemimpin tegas; di bawah tanah, ia menggali lubang untuk menjerat oposisi. Ketika Partai Demokrat mengajukan pemakzulan dengan tuduhan "penyalahgunaan kekuasaan dan penghinaan terhadap Kongres", Trump sudah menyiagakan 50 senator pendukungnya—persis jumlah yang dibutuhkan untuk membunuh proses di Senat. Ia tak sedang bermain catur, tapi judi kartu dengan markah di lengan.
Oposisi Amerika terjebak dalam ilusi mereka sendiri—mengira "pelanggaran konstitusi" cukup untuk menyatukan semua kekuatan anti-Trump. Nyatanya, Partai Demokrat lupa bahwa:
- 3 senator dari partainya sendiri diam-diam diimingi jabatan federal oleh tim Trump;
- Tekanan oligarki dari donor industri senjata yang diuntungkan oleh ketegangan dengan Iran;
- Kampanye ketakutan lewat media sayap kanan yang menggambarkan pemakzulan sebagai "kudeta liberal".
Hasilnya? Koalisi pemakzulan pecah sebelum sidang dimulai. Lebih memalukan lagi, ketua komite pemakzulan justru terjebak skandal suap seminggu sebelum voting—sebuah "kecelakaan politik" yang terlalu tepat waktunya. Di tengah kekacauan, Trump malah menggalang pawai dukungan dengan spanduk "Kami Cinta Rudalmu!" di depan Gedung Capitol. Oposisi bukan saja kalah taktik, tapi gagal total membaca medan perang.
Framers Konstitusi AS mungkin berguling di kuburan melihat apa yang terjadi. Mekanisme pemakzulan dirancang sebagai tameng rakyat melawan presiden otoriter, tapi dalam praktiknya justru menjadi bukti kekalahan demokrasi. Ada dua celah sistemik yang sengaja tidak diperbaiki:
- Ambisi karir politik membuat senator lebih takut kehilangan dukungan partai daripada melanggar sumpah jabatan.
- Proses pemakzulan yang terlalu politis memungkinkan presiden dari partai mayoritas nyaris kebal hukum.
Trump memamerkan ini dengan brutal. Alih-alih membentuk tim pembela, ia hanya menyebarkan video kampanye berjudul "Mereka Ingin Mencuri Negara Kita!" ke basis pendukungnya. Dalam 48 jam, kantor senator dibanjiri ancaman pembunuhan. Apa yang kita saksikan bukan kegagalan sistem, tapi sistem yang bekerja persis seperti dirancang para penguasa: mengizinkan presiden membungkam kontrol demokrasi selama ia menguasai partai dan media.
Upaya pemakzulan Trump pasca-serangan Iran bukan sekadar kekalahan politik—ia adalah tanda kematian klinis demokrasi Amerika. Ketika presiden bisa dengan leluasa memicu perang tanpa konsekuensi, ketika mekanisme pertanggungjawaban publik bisa dipelintir jadi panggung propaganda, dan ketika ketakutan akan kekuasaan mengalahkan keberanian konstitusional, yang tersisa hanyalah republik boneka. Trump bukan penyebab penyakit; ia hanya gejala dari demokrasi yang memilih menjadi tiran atas nama kenyamanan. Pertanyaannya: Maukah kita mengakui bahwa kita semua adalah aktor dalam tragedi ini—dengan diam saat kekuasaan melampaui batas, atau bertepuk tangan saat konstitusi dijepit di altar politik?
Pemikiranmu bisa jadi antibodi—follow @mindbenderhypno untuk memecah ilusi kekuasaan bersama!
Comments
Post a Comment