Seleksi atau Sandiwara? Mengintip Dagelan Politik di Balik Capim KPK

Bagaimana bisa lembaga yang konon katanya mewakili suara rakyat justru terkesan alergi terhadap proses pemilihan pemimpin lembaga antirasuah? Ketika masyarakat menanti dengan napas tertahan siapa yang akan duduk di kursi panas Komisi Pemberantasan Korupsi, DPR justru lebih sibuk menunda-nunda agenda formal yang seharusnya menjadi prioritas. Apakah kita sedang menyaksikan drama klasik dengan alur yang sudah bisa ditebak? Artikel ini akan mengajak Kamu berpikir lebih kritis tentang pola repetitif yang dimainkan para politisi setiap kali publik menaruh harapan. Mari kita kuliti satu per satu absurditas yang tersaji dalam teatrikal politik seleksi Capim KPK.


Dalam semesta politik, menunda bisa lebih strategis dari keputusan itu sendiri. Bayangkan, rapat antara Komisi III dan Pansel Capim KPK ditunda bukan sekali, bukan dua kali, melainkan tiga kali. Sementara tenggat waktu 16 Desember sudah seperti bayangan malaikat maut yang siap menyapa jika tak ada hasil konkret. Dan apa respons para wakil rakyat? Mereka berkata, "masih bisa lah, tinggal baca dokumen". Seolah-olah memilih pemimpin KPK sama dengan membaca brosur diskon di minimarket. Padahal, publik berharap hadirnya pemimpin KPK yang bukan hanya bersih secara administratif, tapi juga berani menabrak tembok kebusukan yang selama ini dipelihara sistem.


Lebih ironis lagi, mereka menyandarkan seleksi kepada Pansel namun tetap menunda-nunda konfirmasi dan penilaian. Ini seperti Kamu mempercayai juru masak profesional untuk menyiapkan hidangan makan malam, tapi tetap ngotot mencicipi dan meracik bumbunya sendiri sambil ngeles bahwa belum ada waktu. Pertanyaannya: jika memang percaya sepenuhnya, mengapa tak langsung proses saja? Atau memang ada kekhawatiran, nama-nama yang lolos Pansel terlalu sulit dikendalikan?


"Rely on" Pansel, Tapi Masih Saja Cari Alasan

Politik itu memang seni, tapi bukan berarti semua harus dikoreografikan sedemikian rupa sampai akal sehat dikorbankan. Salah satu anggota DPR menyebut mereka "rely on" kepada Pansel, dan percaya terhadap kerja keras yang sudah dilakukan. Namun narasi ini menjadi basi jika pada kenyataannya proses terus ditunda dengan alasan berkas belum lengkap. Ini semacam tameng klise: mempercayai hasil orang lain tapi tetap mencari celah untuk tidak segera bertindak. Sayangnya, publik bukan lagi anak-anak yang mudah ditenangkan dengan permen retorika.


Ketika publik tahu prosesnya bisa selesai cepat, tapi justru diperpanjang dengan dalih teknis administratif, maka ada kesan kuat bahwa yang dilindungi bukanlah integritas seleksi, melainkan kepentingan-kepentingan tak kasatmata. Apakah para wakil rakyat takut kehilangan ruang manuver? Apakah mereka menghindari calon yang terlalu berani membongkar praktik yang telah mengakar?


DPR diwajibkan memilih lima dari sepuluh nama Capim. Tapi alih-alih segera menyaring berdasarkan kompetensi dan visi pemberantasan korupsi, drama pengunduran waktu justru lebih menarik diperhatikan. Ada kemungkinan sebagian anggota DPR belum sepakat tentang siapa yang akan menguntungkan mereka secara politik. Dan karena itulah, forum digantung. Rapat digantung. Harapan publik pun ikut digantung.


Sungguh menggelikan bahwa lembaga setingkat DPR bisa berkata, "kami percaya Pansel", tapi tetap menggantung keputusan hingga detik-detik terakhir. Maka jangan heran kalau pemilihan Capim KPK mulai menyerupai lelang di pasar malam—yang paling keras teriaknya, paling strategis mainnya, bisa dapat kursi, terlepas dari apakah layak atau tidak. Jika integritas memang jadi patokan, mengapa tak segera gas penuh?


  • Proses hukum dan integritas kelembagaan dikompromikan demi drama politik.
  • Penundaan memberi ruang lebih besar untuk lobi-lobi gelap dan penyesuaian kepentingan.
  • Publik dipaksa menonton sandiwara yang seolah-olah sulit, padahal sebetulnya hanya soal niat.


Sangat ironis bahwa waktu makin mepet, tapi diskusi di DPR justru berputar pada hal-hal teknis. Padahal, apa sulitnya membuka dokumen, membahas isi, dan mengambil keputusan berdasarkan integritas dan rekam jejak? Jawabannya sederhana: banyak aktor politik yang masih menganggap KPK sebagai ancaman, bukan mitra reformasi. Maka semakin lambat proses berjalan, semakin banyak celah untuk menyusupkan agenda-agenda tertentu.


Bayangan Plt yang segera habis masa jabatannya malah tak memacu para politisi untuk lebih cepat bekerja. Mungkin karena sebagian dari mereka terlalu sibuk merancang skenario agar calon yang vokal dan "berbahaya" bagi kenyamanan mereka tersingkir secara sistematis.


Satu hal yang bisa Saya simpulkan dari drama uji kelayakan Capim KPK ini adalah: sekuat apapun kepercayaan publik, jika tak diiringi keberanian institusi politik untuk merespon cepat dan tepat, maka kepercayaan itu akan habis oleh waktu dan pengabaian. Komisi III DPR punya semua alat untuk menyelesaikan ini jauh sebelum tenggat, tapi mereka memilih duduk, menunda, dan berdalih. Jika Kamu bertanya apa yang bisa dilakukan publik? Satu-satunya cara adalah terus mengawasi, mencatat, dan bersuara. Karena politik yang tidak diawasi publik hanya akan jadi panggung sirkus tanpa akhir.


Dan ya, Kamu memang perlu mulai bersikap lebih kritis. Jangan telan mentah semua narasi "prosedural" yang dijual ke publik. Selalu tanyakan: siapa yang paling diuntungkan dari penundaan ini? Dan siapa yang sedang ditarget untuk tidak lolos?


Ikuti terus pembahasan kritis seperti ini dan berdiskusi bareng di Instagram @mindbenderhypno. Karena memperluas wawasan dan memperkuat daya pikir adalah satu-satunya cara agar Kamu tidak mudah ditipu sistem yang lihai bermain kata dan waktu.

Comments

Popular posts from this blog

Dikira Marah-marah Hanya karena Caps Lock: Absurditas Bahasa Digital Anak Muda

Pengaruh Musik Keras pada Emosi dan Mood

Beyond 9-to-5: Ciptakan Batasan Sehat & Work-Life Balance dengan Hipnoterapi