Sekampung Udik: Di Mana Logika dan Martabat Dibuang Bersama Sampah Plastik
Sekampung Udik menjadi potret mini tentang apa jadinya masyarakat yang kehilangan kemampuan membedakan wibawa dan kesewenangan. Apa pun keputusan kepala kampung, pasti benar. Sekalipun isinya cuma titipan proyek, pembagian tanah yang merugikan petani, atau mutasi guru yang absurd. Kampung seperti ini tidak butuh hukum, karena mereka punya yang lebih sakti: suara terbanyak. Dan suara terbanyak itu bisa dibeli dengan satu bungkus rokok, seikat sembako, atau janji wifi gratis yang tak pernah hidup. Kalau kamu berpikir ini berlebihan, silakan mampir dan rasakan sendiri, lalu coba pertahankan logikamu.
Tidak sedikit orang pintar yang akhirnya diam dan memilih pergi. Sebab kalau kamu terlalu vokal, kamu akan dikira sombong. Kalau kamu bertanya terlalu dalam, kamu dianggap 'mencari gara-gara'. Satu-satunya cara agar diterima adalah dengan menyesuaikan standar berpikir. Turunkan daya kritismu. Hapus pertanyaanmu. Ganti dengan anggukan kosong sambil pura-pura paham. Di Sekampung Udik, kemajuan dianggap bahaya. Pemikiran segar dianggap racun. Dan perubahan, ya, itu dianggap penghinaan terhadap leluhur.
Sialnya, banyak yang mengira ini cuma soal pendidikan. Padahal tidak. Bahkan beberapa warga dengan gelar sarjana pun ikut menyuburkan suasana bebal ini. Mereka tahu apa yang salah, tapi lebih takut tidak dapat proyek daripada kehilangan harga diri. Apalagi kalau mereka sudah dekat dengan kepala kampung atau pejabat lokal. Mereka akan lebih sibuk jadi corong propaganda daripada jadi pemantik perubahan. Di sinilah kamu bisa melihat, pendidikan tanpa integritas hanyalah hiasan meja yang tidak berguna.
Pilkada lokal sering jadi puncak dagelan. Panggung tempat drama dan uang berpadu dengan akrobat janji-janji semu. Di Sekampung Udik, Pilkada bukan soal memilih pemimpin terbaik. Tapi soal siapa yang bisa menyogok paling halus. Siapa yang punya relawan paling agresif. Siapa yang bisa bawa nasi kotak paling banyak ke rumah-rumah warga. Dan setelah semua itu usai? Kekecewaan massal dianggap angin lalu, sambil menunggu Pemilu berikutnya.
Kampung ini mengajarkan kamu banyak hal, terutama tentang betapa rusaknya mentalitas mayoritas diam. Orang-orang baik sering kali kalah karena enggan bersuara. Mereka khawatir akan dikucilkan. Takut dilabeli 'oposisi'. Padahal yang mereka lawan bukan pemerintah, tapi ketidakwajaran. Tapi ya begitulah, lebih mudah ikut arus daripada memperbaiki aliran.
Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan? Banyak anak muda di kampung ini justru lebih bangga jadi buzzer daripada aktivis. Mereka rela 'menjual' opini demi pulsa dan kuota. Mereka tahu mana yang benar, tapi lebih memilih jadi penyampai pesan yang dibayar, meski isinya menyesatkan. Barangkali karena mereka berpikir, "Ngapain idealis kalau gak makan?" Ironis, sebab dari sanalah seharusnya benih perubahan bisa tumbuh. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: ladang akal sehat dikeringkan dan dibakar habis demi popularitas musiman.
Di satu sisi, kamu akan melihat warga yang begitu fanatik terhadap tokoh tertentu, seperti sedang menyembah dewa. Mereka tidak lagi mempertanyakan program, rekam jejak, atau kapasitas kepemimpinan. Yang mereka lihat hanya 'siapa yang paling dermawan dalam kampanye'. Kalau kamu berani bilang tokoh itu problematik, siap-siap saja dikucilkan dari arisan RT. Karena di kampung seperti ini, membela logika bisa lebih mematikan daripada membela maling.
Ada satu momen tragis yang terjadi sebelum pilkada kemarin, dan ini layak dikenang. Seorang tokoh pemuda yang mencoba mengedukasi warga lewat diskusi terbuka justru diusir dari balai desa. Alasannya? Karena dia 'mengganggu ketenangan kampung'. Padahal yang ia bawa hanya data dan logika. Tapi rupanya, di kampung ini, hal yang paling berbahaya memang bukan senjata tajam—melainkan ide yang berbeda.
Pola pikir yang terlanjur nyaman dengan sistem korupsi lokal ini harusnya menjadi refleksi. Tapi lagi-lagi, refleksi butuh kaca. Dan di Sekampung Udik, kaca itu sudah lama pecah. Yang tersisa hanya potongan-potongan kecil yang kalau kamu paksa pakai malah bisa melukai.
- Budaya suap dianggap strategi
- Politik balas budi jadi rukun kampung
- Kritik dianggap ancaman
- Kebenaran digantung di tiang bendera, dibalik kain merah putih
Menulis tentang ini bukan karena ingin mencemooh, tapi karena lelah melihat absurditas dijadikan standar. Karena kampung seharusnya jadi tempat kembali, bukan tempat melarikan logika. Karena tanah tempatmu tumbuh seharusnya tidak mengubur impianmu hidup jujur. Dan karena ada terlalu banyak Sekampung Udik lain di negeri ini yang tumbuh subur, bahkan saat kamu memilih diam.
Kalau kamu membaca sampai akhir, berarti ada yang hidup dalam dirimu. Mungkin itu idealisme yang selama ini tertidur. Atau mungkin itu rasa marah karena merasa terwakili. Apa pun itu, semoga kamu tak hanya berhenti di simpati. Sebab kampung seperti ini tidak akan berubah dengan kasihan. Tapi dengan keberanian untuk berpikir dan berbicara, bahkan kalau kamu harus melakukannya sendirian.
Ayo diskusi lebih dalam. Follow Instagram @mindbenderhypno dan mari kita kikis satu per satu mentalitas yang merusak fondasi nalar di tempatmu berpijak.
Comments
Post a Comment