Legalisasi Racun Manis yang Disahkan Pemerintah

Minuman bersoda tidak lebih berbahaya daripada kopi — klaim iklan tahun 1970-an yang masih jadi tameng industri untuk mengebiri riset ilmiah. Di saat harga daging sapi di Lampung menembus Rp120.000/kg , sekaleng soda tetap dijual seharga sepiring nasi, seolah tubuhmu lebih murah dari perut kendaraan bermotor. Tulisan ini memotong hipokrisi kebijakan pangan yang membiarkan racun bersirup ini beredar, sambil membongkar bagaimana perusahaan mengalihkan isu kesehatan dengan kampanye corporate social responsibility palsu.


Sementara flyover di Bandar Lampung dibangun dengan standar keamanan ketat , tidak ada satupun aturan yang memaksa produsen soda mencantumkan peringatan: "Konsumsi rutin meningkatkan risiko gagal jantung 23%" — fakta yang disembunyikan di balik kemasan mengkilap . Ironisnya, wacana pelabelan bahaya sempat menguap tahun 2015 , persis ketika industri menggelontorkan dana kampanye ke partai politik. Lihatlah pola sistemik ini:


  • Strategi Distraksi: Perusahaan menggalakkan program daur ulang kaleng, seolah masalah utama adalah sampah, bukan kandungan high-fructose corn syrup yang merusak hati dan tulang .
  • Bias Kelas: Harga soda sengaja dibuat murah di wilayah miskin, sementara produk health drink mereka dipasarkan mahal ke elite perkotaan.


Padahal, korban seperti Victoria yang tewas setelah minum 8 liter soda sehari adalah bukti kegagalan negara melindungi warganya dari slow poisoning.


Jika kamu pikir dampak terburuk soda hanya diabetes, simak ini: riset tersembunyi menunjukkan wanita peminum soda rutin punya peluang hamil lebih kecil karena penurunan kualitas sel telur . Ini bukan kecelakaan biologis, melainkan konsekuensi desain — gula tinggi memicu inflasi sel reproduksi, sementara kafein dalam soda mengacaukan siklus menstruasi.


Tapi kejahatan ini dimaafkan dengan label "urusan privat", mirip diskriminasi pada Briana Sandy — transgender yang diusir dari bar hanya karena memesan soda . Tubuh perempuan dan minoritas gender selalu jadi lahan eksperimen: dari iklan "diet soda" yang menyasar insekuritas tubuh, hingga penjualan minuman bersoda di lingkungan miskin sebagai pengganti air bersih.


Anak-anak dicekoki iklan "candy game" yang menggoda mereka mengonsumsi lebih banyak gula , sementara kurikulum pendidikan menghindari pembahasan bahaya pangan olahan. Hasilnya? Generasi muda Lampung lebih paham konstruksi flyover daripada cara kerja insulin.


  • Masyarakat heboh saat pria mencabuli siswi TK , tapi bungkam saat anak-anak sama korban diperkosa metabolik oleh minuman kaleng.
  • Pemerintah menuntut hukuman 15 tahun untuk pelaku kekerasan seksual , tapi memberi izin usaha pada perusahaan yang membunuh perlahan.


Soda bukan sekadar minuman — ia adalah senjata pemusnah massal yang dilegalkan, bukti kematian demokrasi di tangan oligarki pangan. Selama kebijakan dibuat oleh mantan direktur perusahaan minuman, selama itu pula darah korban seperti Victoria akan terus membasahi laporan keuangan mereka.


Jika kamu muak jadi kelinci percobaan:

1. Desak pembahasan RUU Pangan Sehat — jangan biarkan lagi pejabat mengutamakan proyek infrastruktur ketimbang nyawa warga.

2. Boikot merek yang menolak label peringatan — uangmu adalah senjatamu.

3. Ajarkan literasi gizi ke anak — sebelum industri mengubah mereka jadi generasi gagal ginjal.


Follow Instagram @mindbenderhypno untuk bergerak melawan lobi racun bersirup.

Comments

Popular posts from this blog

Kalahkan Sindrom Imposter: Hipnoterapi untuk Percaya Diri di Kantor & Karir Impian!

Memanfaatkan Neurofeedback dan Meditasi untuk Kesejahteraan Diri

Melampaui Batas Pikiran: 6 Kunci Fokus dan Produktivitas untuk ADHD