Jejak Lobi yang Ditolak Tapi Dihidangkan

"Di negeri demokrasi, pelobi adalah perancang tak terlihat yang menjahit kebijakan dengan benang emas" — tapi di Jakarta, benang itu dipakai membungkam mulut pejabat yang bersumpah melayani rakyat. Luhut Binsar Pandjaitan menyangkal pemerintah menggunakan jasa pelobi untuk kunjungan Jokowi ke AS, seraya bilang: "Presiden biasa-biasa saja". Padahal, dalam nafas sama, dia membisikkan pengusaha Indonesia boleh membayar perantara kuasa itu. Tulisan ini menguliti skema "penyangkalan terstruktur" yang menjadikanmu penonton pasif, sementara kebijakan nasional dikendalikan aktor bayangan.


Luhut membantah pemerintah memakai pelobi, tapi berbalik mengakui pengusaha melakukannya untuk urusan sawit dan udang. Ini bukan inkonsistensi, melainkan strategi pengalihan. Seperti pesulap yang mengalihkan mata penonton ke tangan kiri sementara tangan kanan menyembunyikan kartu as. Kamu disuruh fokus pada "pemerintah tak pakai pelobi", tapi dilupakan bahwa keputusan presiden bisa dikendalikan korporasi yang membayar lobbiest firm di Washington.


Fakta lebih mengerikan: Luhut menyebut praktik ini "sah-sah saja". Sah? Ketika petani sawit di Riau digusur tahun 2014, atau nelayan kehilangan akses laut 2013, apakah keadilan "sah" diinjak? Kita dijual ilusi pelobi cuma makelar dagang, padahal mereka algojo kebijakan.


Hukum sebagai Pentungan: Pola Membungkam Sebelum Kritik Muncul

Julukan "Lord Luhut" bukan ejekan kosong. Lihat pola 2014: aktivis lingkungan dipidana karena protes tambang di Sulawesi, atau petani Kendeng dipaksa diam lewat gugatan perdata. Saat Luhut bilang "Saya sebagai perwira mengatakan tak ada salah", itu sinyal bahwa kritik terhadapnya = pengkhianatan.


Padahal, dalam demokrasi sehat, tak ada jabatan kebal kritik. Tapi dia membangun benteng hukum sejak 2015 — persis seperti UU ITE yang menjerat 85 orang tahun itu. Menteri ini paham cara ganti kritik dengan pasal, sementara konstitusi diinjak bagai kertas bekas.


Sementara Luhut sibuk bersihkan nama di Istana, data BPS 2014 menunjukkan 28,5 juta rakyat hidup di bawah garis miskin. Ini bukan kebetulan. Kebijakan yang diarahkan pelobi korporasi menggiring anggaran ke proyek mercusuar, sementara rakyat dijual dengan dalih "kemudahan berusaha". Pola berulang:


Skema Pemiskinan Sistematis: Pelobi sawit jamin akses lahan untuk korporasi (2013-2015), petani lokal diusir tanpa ganti rugi.

Privatisasi Demi Profit: Proyek energi dikendalikan konglomerat, masyarakat sekitar cuma dapat pencemaran.


Dan ironis: Luhut sendiri mengusulkan joint investment dengan asing tahun 2014 — langkah yang menguatkan cengkeraman asing di sektor strategis. Kamu disuruh percaya pelobi datangkan kemakmuran, padahal mereka sedot kekayaanmu lewat keran kebijakan.


Penyangkalan Luhut tentang pelobi bukan cuma kebohongan, melainkan cermin sistem kekuasaan yang jadikan rakyat sebagai collateral damage. "Presiden biasa-biasa saja" adalah kode untuk "kebijakan dijahit di belakang layar". Dan selama kita diam, para "tuan" terus mainkan wayang dengan uangmu.


  • Tuntut Transparansi Kebijakan — Setiap kunjungan pejabat wajib punya laporan dana.
  • Lawan Gugatan Pembungkam — Dukung pegiat yang dipidana karena bersuara.
  • Awasi Proyek Asing — Jangan biarkan kedaulatan pangan dijual.


Follow Instagram @mindbenderhypno untuk gerakan melawan mesin lobi. Diammu hari ini = persetujuan atas penjualan masa depan anakmu.

Comments

Popular posts from this blog

Kalahkan Sindrom Imposter: Hipnoterapi untuk Percaya Diri di Kantor & Karir Impian!

Memanfaatkan Neurofeedback dan Meditasi untuk Kesejahteraan Diri

Melampaui Batas Pikiran: 6 Kunci Fokus dan Produktivitas untuk ADHD