Urine Negatif Tapi Video Positif: Dilema Propam Menghadapi Bukti Visual vs Hasil Tes

Kode Diam Institusi vs Tangisan Anak: Sebuah Video 4 Menit yang Mengubah Segalanya

Anggota Propam Polda Jawa Timur turun ke Banyuwangi dengan wajah serius. Di tangan mereka, ada salinan video durasi 04:12 menit yang diunggah Ages Dhian—istri Brigadir R—pada 29 Oktober 2015. Rekaman tahun 2011 itu menunjukkan suaminya menghisap cairan dari botol plastik, asap mengepul, sementara suara anak kecil terdengar jelas di ruangan itu . Apa yang membuat seorang istri negeri mempublikasikan aib suaminya sendiri? Jawabannya terletak pada jeritan hati yang terpendam: "Jengkel karena suami jarang pulang, sampai anak-anak bertanya di mana ayahnya," pengakuan Dhian yang dibuka Unit Propam . Kasus ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, melainkan ujian berat bagi sistem pengawasan internal Polri. Kita akan membedah mengapa mediasi keluarga gagal, bagaimana bukti visual bisa lebih kuat dari tes urine, serta apa artinya bagi kita sebagai masyarakat yang menggantungkan kepercayaan pada seragam biru itu.


Anatomi Skandal: Motif, Bukti, dan Respons Institusi

Ages Dhian bukan aktivis anti-narkoba. Ia hanyalah istri yang lelah menunggu suami bertugas di Unit Resmob Satreskrim Polres Banyuwangi. Puncak kejengkelannya tiba setelah Brigadir R kerap mangkir 2-3 hari tanpa kabar, membuat ketiga anaknya terus bertanya . Video tahun 2011 yang disimpannya selama empat tahun akhirnya diunggah ke Facebook dengan caption sederhana: "Maaf bila tidak berkenan" . Tindakan ini merupakan bentuk protes personal yang berubah menjadi senjata publik. Pola serupa pernah terjadi dalam kasus kekerasan rumah tangga di Jawa Tengah (2014), di mana korban menggunakan media sosial sebagai last resort ketika jalur internal gagal.


Eskalasi penanganan kasus menunjukkan keretakan sistem pengawasan:

  • Tingkat Polres: Awalnya Brigadir R hanya mendapat sanksi mutasi demosi ke Bagian SIUM setelah pemeriksaan internal . Hasil tes urine negatif dijadikan alibi .
  • Intervensi Propam Polda: Minggu (1/11/2015), Propam Polda Jatim mengambil alih kasus, membawa Brigadir R dan H ke Mapolda. Alasan resminya: "Khawatir ada yang ditutup-tutupi jika diperiksa teman sendiri" .
  • Tekanan Kompolnas: Hamidah Abdurrahman dari Kompolnas mendesak pemrosesan hukum meski kejadian 2011: "Ini gambaran buruk bagi Polri" .


Kontradiksi Bukti: Visual vs Ilmiah

Video jelas menunjukkan Brigadir R menghisap pipa sabu dan mengembuskan asap putih . Namun hasil tes urine negatif menjadi senjata pembelaan . Di sini terjadi tiga masalah metodologis:

  • Jeda Waktu: Tes dilakukan empat tahun setelah rekaman, membuat deteksi mustahil.
  • Teknik Sampling: Tidak dijelaskan apakah tes mencakup rambut atau hanya urine yang memiliki jendela deteksi sempit.
  • Asimetri Pengetahuan: Brigadir R sebagai anggota reskrim paham cara menghindari deteksi.


Dimensi Sistemik: Kode Diam vs Akuntabilitas Publik

Kasus ini membuka praktik tak tertulis di tubuh Polri:

  • Solidaritas Kelompok: Rekan satu unit cenderung melindungi pelaku, seperti terlihat dari pemeriksaan awal yang hanya berujung mutasi .
  • Efek Jera Minim: Sanksi administratif (seperti dikotak di SIUM) tidak mengganggu karier selama tidak ada vonis pidana.
  • Eksploitasi Celah Hukum: Argumentasi “kejadian lama” sering dipakai untuk penghambat proses hukum, meski UU Narkotika tidak mengenal kadaluarsa .


Unggahan Dhian membuktikan tiga pergeseran kekuasaan:

  • Sipil Memegang Alat Bukti: Kamera ponsel warga kini lebih efektif dari patroli Propam.
  • Viralitas sebagai Pemicu: Kasus diusut bukan karena mekanisme internal, tapi karena tekanan publik setelah video tersebar .
  • Media Sosial = Ruang Pengadilan Alternatif: Masyarakat memanfaatkan platform digital untuk memaksa institusi transparan.


Suara anak dalam video bukan sekadar latar—ia simbol kerusakan sistemik. Riset KPAI 2014 menunjukkan paparan narkoba pada anak dalam lingkungan keluarga meningkatkan risiko gangguan kecemasan 7x lipat. Dalam rekaman, jelas terdengar percakapan antara Brigadir H dan balita , membuktikan pelanggaran berat terhadap Pasal 61 UU Perlindungan Anak.


Apa Artinya Ketika Penjaga Hukum Melanggar?

Video 4 menit 12 detik itu telah menjadi cermin retak bagi kita semua. Pertama, ia menunjukkan kegagalan mekanisme pengaduan internal di tubuh Polri—seorang istri harus menghancurkan reputasi suami demi didengar. Kedua, tes urine negatif bukan bukti kesucian; ia hanya membuktikan keterbatasan metode saat dihadapkan pada rekaman visual. Terakhir, solidaritas korps jangan sampai membunuh akuntabilitas—komitmen Kapolda Jatim untuk “tidak menutup mata” harus jadi standar baru.


Jika kau pernah menyaksikan penyalahgunaan wewenang atau kebuntuan melapor, jangan diam. Mari diskusikan strategi membangun sistem pengawasan yang manusiawi. Follow @mindbenderhypno untuk analisis kebijakan publik dari sudut psikologi sosial. Bagaimana menurutmu cara terbaik memastikan Propam benar-benar independen?

Comments

Popular posts from this blog

Kalahkan Sindrom Imposter: Hipnoterapi untuk Percaya Diri di Kantor & Karir Impian!

Memanfaatkan Neurofeedback dan Meditasi untuk Kesejahteraan Diri

Melampaui Batas Pikiran: 6 Kunci Fokus dan Produktivitas untuk ADHD