Ketika Kursi Kosong di Ruang Mediasi Menjadi Cermin Kekuasaan
Bayangkan duduk sendirian di ruang sidang Disnaker Medan, menunggu perwakilan perusahaan yang tak kunjung muncul. Surat panggilan resmi nomor 567/5913/DSTKM/2015 telah dikirim seminggu sebelumnya, tapi ruang itu hanya diisi oleh mediator, seorang buruh, dan serikat pendamping. Apa yang sebenarnya terjadi di balik ketidakhadiran manajemen PT Karya Delka Maritim Belawan pada 27 Oktober 2015? Kisah Syamsuddin Siregar, security yang dipecat tanpa pesangon, bukan sekadar persoalan satu pekerja. Ini adalah potret retaknya mekanisme perlindungan tenaga kerja yang seharusnya menjadi tameng bagi 134 juta pekerja Indonesia saat itu. Dalam tulisan ini, kita akan membedah lapisan-lapisannya: dari kronologi kasus, celah hukum mediasi, hingga strategi yang bisa kamu gunakan jika menghadapi situasi serupa. Siapkan dirimu untuk melihat sisi lain dari hubungan industrial yang jarang terkuak.
Kronologi Kasus yang Membuka Pintu Pertanyaan
Syamsuddin Siregar, security di PT Karya Delka Maritim Belawan, resmi mengadukan perusahaannya ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Medan pada 27 Oktober 2015. Pengaduan ini bermula dari pemecatan sepihak tanpa pemberian pesangon—hak dasar yang dijamin UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Didampingi Ahmad Iqbal Parinduri dari Serikat Buruh Sosial Demokrat (SBSD), Syamsuddin bersiap menghadapi sidang mediasi pertama. Namun, yang terjadi justru pengunduran jadwal sidang karena ketidakhadiran manajemen perusahaan. B. Elyda Ginting SH., mediator yang menangani kasus itu, terpaksa mengeluarkan panggilan kedua setelah konfirmasi via telepon dan SMS ke Acai (personalia perusahaan) tak digubris. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedur, melainkan sinyal bahaya tentang bagaimana perusahaan memandang rendah proses hukum.
Sidang mediasi seharusnya menjadi solusi cepat dan murah bagi perselisihan hubungan industrial, sesuai UU No. 2 Tahun 2004. Tapi kasus PT Karya Delka Maritim menguak tiga kelemahan sistemik:
- Ketidakberdayaan Mediator: Mediator tak punya kewenangan memaksa kehadiran perusahaan, hanya bisa mengeluarkan surat panggilan berulang. Padahal, dalam data Disnakertrans Sumut 2014, 30% kasus mediasi gagal karena ketidakhadiran salah satu pihak.
- Asimetri Informasi: Syamsuddin dan SBSD tak memiliki akses dokumen internal perusahaan seperti kontrak kerja atau berita acara pemecatan—senjata krusial yang sering dimanipulasi.
- Erosi Waktu: Proses mediasi yang seharusnya selesai dalam 30 hari (Pasal 8 UU No. 2/2004) molor karena penundaan, merugikan pekerja secara finansial dan psikologis.
Pengalaman Syamsuddin memberi pelajaran berharga tentang tindakan yang bisa diambil pekerja saat menghadapi deadlock mediasi:
- Dokumentasi Utuh: Kumpulkan bukti kontrak, slip gaji, surat peringatan, hingga catatan komunikasi dengan atasan. Dalam kasus PT Karya Delka Maritim, ketiadaan bukti tertulis pemecatan memperlemah posisi Syamsuddin.
- Pendampingan Serikat: Kehadiran SBSD menunjukkan peran krusial serikat pekerja. Data Kemnaker 2015 membuktikan kasus dengan pendampingan serikat memiliki tingkat keberhasilan mediasi 65% vs 25% tanpa pendamping.
- Eskalasi ke PHI: Jika mediasi gagal setelah 2 panggilan (seperti kasus ini), ajukan segera ke Pengadilan Hubungan Industrial. Putusan PHI bersifat mengikat dan eksekutif—sesuatu yang tak dimiliki mediasi.
Kasus PT Karya Delka Maritim bukan cermin kegagalan satu perusahaan, tapi alarm bagi sistem ketenagakerjaan kita. Ketidakhadiran mereka di ruang mediasi adalah simbol ketidakpedulian terhadap hukum dan hak dasar pekerja. Pelajaran yang bisa kita petik? Pertama, mediasi hanya efektif jika kedua pihak menghargai proses hukum—tanpa itu, mekanisme ini jadi sekadar ritual administratif. Kedua, pengetahuan prosedural adalah senjata. Syamsuddin dan SBSD telah menunjukkan bahwa langkah kecil mengajukan mediasi bisa memaksa perusahaan berhadapan dengan hukum. Terakhir, ini tentang solidaritas. Setiap kursi kosong di ruang sidang seharusnya memicu kita bertanya: pekerja mana lagi yang harus berjuang sendirian?
Jika kisah Syamsuddin membuatmu mempertanyakan sistem perlindungan pekerja, atau jika kamu punya pengalaman serupa, mari lanjutkan percakapan ini. Ikuti @mindbenderhypno untuk diskusi lebih dalam tentang hak-hak pekerja dan strategi menghadapi ketidakadilan di tempat kerja. Bagaimana menurutmu, apa langkah paling efektif agar perusahaan tak lagi mengabaikan panggilan mediasi?
Comments
Post a Comment