Mengapa Indonesia Gagal Membaca Psikologi Geopolitik Global: Sebuah Analisis dari Perspektif Psikologi Kognitif

Indonesia sedang mengalami krisis identitas geopolitik yang paling serius sejak era Reformasi. Sebagai seorang yang berlatar belakang psikologi dan neuro linguistic programming, saya melihat fenomena ini bukan semata-mata sebagai masalah kebijakan, melainkan sebagai manifestasi dari cognitive bias dan pola pikir kolektif yang mendalam. Pada Juni 2015, tepat delapan bulan setelah Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, Indonesia berada di titik krusial dimana pilihan-pilihan strategis yang diambil akan menentukan posisi geopolitiknya untuk dekade mendatang. Namun, apa yang terjadi justru menunjukkan bagaimana bias psikologis dapat mempengaruhi pengambilan keputusan strategis sebuah negara.


Dari kacamata psikologi kognitif, transisi kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi menunjukkan fenomena yang saya sebut sebagai "recency effect" dalam pengambilan keputusan politik. Masyarakat Indonesia, yang lelah dengan gaya kepemimpinan SBY yang dianggap terlalu fokus pada diplomasi multilateral, secara tidak sadar memilih pendekatan yang berlawanan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Jokowi, dengan latar belakang walikota dan gubernur, membawa paradigma "think local, act local" ke panggung nasional dan internasional. Pendekatan ini mencerminkan apa yang dalam psikologi disebut sebagai "availability heuristic" dimana pengalaman terdekat (sukses membangun Solo dan Jakarta) dianggap dapat direplikasi di level yang lebih kompleks. Namun, geopolitik tidak sama dengan mengelola infrastruktur kota, dan perbedaan kompleksitas ini tampaknya tidak sepenuhnya disadari oleh pengambil kebijakan pada masa itu.


Konsep "Poros Maritim Dunia" yang diusung Jokowi sebenarnya menunjukkan pemahaman intuitif yang baik tentang kekuatan geografis Indonesia. Namun, dari perspektif neuro linguistic programming, terdapat gap yang signifikan antara "linguistic representation" dan "implementasi konkret". Dalam NLP, kita mengenal konsep "well-formed outcome" sebuah tujuan harus spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan memiliki timeframe yang jelas. Konsep Poros Maritim Dunia, meskipun visionaris, belum memenuhi kriteria ini pada Juni 2015. Yang terjadi adalah apa yang dalam psikologi disebut sebagai "planning fallacy" kecenderungan untuk meremehkan waktu, biaya, dan risiko dari suatu proyek sambil melebih-lebihkan manfaatnya. Data menunjukkan bahwa pada Juni 2015, anggaran untuk realisasi visi maritim masih sangat terbatas, sementara ekspektasi publik dan internasional sudah sangat tinggi.


Aspek yang paling menarik dari sudut pandang psikologi adalah bagaimana Indonesia merespons dinamika rivalitas Amerika Serikat dan China. Fenomena ini menunjukkan apa yang dalam psikologi sosial disebut sebagai "approach-avoidance conflict" situasi dimana individu atau dalam hal ini negara, tertarik pada dua pilihan yang sama-sama memiliki aspek positif dan negatif. China menawarkan investasi infrastruktur yang besar melalui Belt and Road Initiative, namun disertai dengan kekhawatiran tentang "debt trap diplomacy". Amerika Serikat menawarkan keamanan dan akses teknologi, namun dengan ekspektasi komitmen politik yang lebih besar. Respons Indonesia yang cenderung menghindari pilihan tegas mencerminkan apa yang dalam hipnoterapi kita kenal sebagai "secondary gain" keuntungan tersembunyi dari tidak mengambil keputusan. Dengan tetap berada di "zona abu-abu", Indonesia dapat terus menerima manfaat dari kedua belah pihak tanpa komitmen penuh.


Dari perspektif psikologi massa, fenomena yang terjadi pada ASEAN di tahun 2015 menunjukkan dinamika group psychology yang klasik. Indonesia, sebagai "alpha member" tradisional ASEAN, mulai menunjukkan perilaku withdrawal menarik diri dari peran kepemimpinan aktif. Dalam psikologi kelompok, ketika pemimpin natural menunjukkan perilaku withdrawal, terjadi apa yang disebut "power vacuum anxiety" di antara anggota lain. Vietnam dan Singapura mulai menunjukkan perilaku assertive leadership, mencoba mengisi kekosongan yang ditinggalkan Indonesia. Fenomena ini sebenarnya dapat diprediksi menggunakan prinsip-prinsip psikologi sosial, namun tampaknya tidak diantisipasi dengan baik. Data menunjukkan bahwa partisipasi Indonesia dalam forum-forum ASEAN menurun secara kuantitas pada periode ini, meskipun secara kualitas masih cukup substansial.


Dalam konteks hipnoterapi, terdapat konsep "ecological check" memastikan bahwa perubahan yang diinginkan tidak mengganggu sistem yang lebih besar. Fokus Jokowi pada pembangunan domestik, meskipun sangat diperlukan, menimbulkan pertanyaan tentang ecological impact terhadap posisi Indonesia di sistem geopolitik regional. Prinsip dalam NLP mengatakan bahwa "you cannot not communicate" setiap perilaku adalah komunikasi. Ketika Indonesia mengurangi aktivitas diplomasi multilateral, pesan yang terkirim ke dunia internasional adalah bahwa Indonesia sedang mengalami "inward shift". Persepsi ini kemudian menjadi self-fulfilling prophecy, dimana mitra internasional mulai mengurangi ekspektasi terhadap peran kepemimpinan Indonesia. Data dari berbagai forum internasional menunjukkan bahwa referensi terhadap Indonesia sebagai "regional leader" menurun signifikan pada paruh kedua 2014 hingga pertengahan 2015.


Analisis terhadap isu keamanan maritim Indonesia pada periode ini menunjukkan fenomena psikologis yang menarik. Kebijakan tegas terhadap illegal fishing yang mulai diterapkan mencerminkan apa yang dalam psikologi disebut sebagai "reactance theory" kecenderungan untuk bereaksi kuat ketika merasa kebebasan atau kedaulatan terancam. Penyitakan dan penenggelaman kapal asing yang melakukan illegal fishing merupakan manifestasi dari psychological ownership rasa kepemilikan yang kuat terhadap wilayah maritim. Namun, implementasi kebijakan ini juga menunjukkan bias kognitif berupa "overconfidence effect" terlalu percaya diri dengan kemampuan enforcement tanpa perhitungan matang terhadap potensi eskalasi diplomatik. Untungnya, respon internasional terhadap kebijakan ini relatif positif, menunjukkan bahwa kadang-kadang intuitive decision making dapat menghasilkan outcome yang baik meskipun prosesnya tidak sepenuhnya rasional.


Dari sudut pandang neuro linguistic programming, representational system yang dominan dalam komunikasi politik Indonesia pada 2015 cenderung kinesthetic fokus pada "feeling" dan "action" daripada visual atau auditory planning. Jokowi's communication style yang down-to-earth dan action-oriented mencerminkan preferensi kinesthetic yang kuat. Hal ini efektif untuk komunikasi domestik, namun dalam arena geopolitik yang lebih kompleks, dibutuhkan keseimbangan antara ketiga representational system. Visual planning (kemampuan untuk "melihat" gambaran besar dan scenario planning) dan auditory processing (kemampuan untuk "mendengar" dan menganalisis nuansa diplomatik) sama pentingnya. Ketidakseimbangan ini tercermin dalam kurangnya strategic foresight dalam beberapa keputusan kebijakan luar negeri pada periode tersebut.


Fenomena "cognitive dissonance" juga terlihat jelas dalam konteks hubungan Indonesia-China pada Juni 2015. Di satu sisi, Indonesia menyambut baik investasi China dan bahkan mulai tertarik dengan Belt and Road Initiative. Di sisi lain, terdapat kekhawatiran yang semakin besar tentang aktivitas China di Laut China Selatan yang mulai mendekati wilayah ZEE Indonesia di sekitar Natuna. Dalam psikologi, cognitive dissonance terjadi ketika terdapat inkonsistensi antara belief dan behavior, yang kemudian menciptakan psychological discomfort. Respons yang umum adalah rationalization mencari pembenaran untuk mengurangi discomfort tersebut. Dalam kasus Indonesia, rationalization yang terjadi adalah pemisahan antara "economic engagement" dan "political issues" seolah-olah keduanya dapat dikelola secara terpisah. Data menunjukkan bahwa pada periode ini, Indonesia berusaha meningkatkan kerjasama ekonomi dengan China sambil diam-diam memperkuat patroli di wilayah Natuna.


Aspek psychological profiling dari decision makers juga penting untuk dianalisis. Jokowi, dengan background sebagai entrepreneur dan executive di level lokal, memiliki mental model yang berbeda dengan diplomat karir atau akademisi yang biasanya menangani isu geopolitik. Dalam NLP, kita mengenal concept of "meta-programs" filter mental yang mempengaruhi bagaimana seseorang memproses informasi dan mengambil keputusan. Jokowi's meta-programs cenderung internal reference (lebih percaya pada penilaian sendiri), options-oriented (lebih suka memiliki banyak pilihan), dan present-focused (lebih fokus pada hasil immediate). Kombinasi meta-programs ini sangat efektif untuk executive decision making di level korporat atau pemerintahan lokal, namun dalam konteks geopolitik yang membutuhkan long-term strategic thinking dan external reference (mempertimbangkan perspektif banyak stakeholder), dapat menjadi limitation. Data menunjukkan bahwa pada periode Juni 2015, banyak keputusan yang diambil bersifat reactive daripada proactive, mencerminkan present-focused orientation.


Dari perspektif hipnoterapi, Indonesia pada periode ini mengalami apa yang bisa disebut sebagai "trance state" kondisi dimana fokus perhatian sangat sempit pada satu aspek (pembangunan domestik) hingga mengabaikan peripheral awareness (dinamika geopolitik regional). Dalam hipnoterapi, kita mengenal bahwa trance state dapat bersifat resourceful atau limiting. Trance state yang dialami Indonesia bersifat ambivalen resourceful untuk mobilisasi sumber daya domestik, namun limiting untuk strategic awareness. Breaking dari limiting trance membutuhkan "pattern interrupt" gangguan terhadap pola yang sudah established. Dalam konteks geopolitik, pattern interrupt ini bisa berupa external shock atau internal realization. Data menunjukkan bahwa beberapa incident di Laut China Selatan dan respons regional terhadap kebijakan Indonesia mulai berfungsi sebagai pattern interrupt pada pertengahan 2015.


Kesimpulan dari analisis psikologis ini adalah bahwa Indonesia pada Juni 2015 sedang mengalami "adolescent phase" dalam perkembangan geopolitiknya periode dimana terjadi identity exploration dan role confusion. Seperti remaja yang sedang mencari identitas, Indonesia berada dalam fase eksperimentasi dengan berbagai approach tanpa komitmen penuh pada satu strategi tertentu. Fase ini natural dan bahkan necessary untuk perkembangan jangka panjang, namun membutuhkan guidance dan support system yang kuat. Tantangannya adalah bagaimana menavigasi fase ini tanpa kehilangan momentum atau credibility di mata internasional. Psychological maturity dalam konteks geopolitik membutuhkan kemampuan untuk mengintegrasikan domestic priorities dengan regional responsibilities, dan data menunjukkan bahwa Indonesia pada periode ini masih dalam proses learning dan adjustment.


Ingin memahami lebih dalam tentang psikologi di balik pengambilan keputusan strategis dan bagaimana mind programming mempengaruhi outcome hidup Anda? Follow Instagram saya @mindbenderhypno untuk insight-insight menarik tentang psikologi, hipnoterapi, dan neuro linguistic programming yang applicable dalam kehidupan sehari-hari maupun professional development Anda!

Comments

Popular posts from this blog

Kalahkan Sindrom Imposter: Hipnoterapi untuk Percaya Diri di Kantor & Karir Impian!

Memanfaatkan Neurofeedback dan Meditasi untuk Kesejahteraan Diri

Melampaui Batas Pikiran: 6 Kunci Fokus dan Produktivitas untuk ADHD