Mengapa Sebagian Individu Mendambakan Pemimpin yang Tegas

Sebuah ketegangan seringkali muncul antara kebutuhan akan ketertiban yang kokoh dan kerinduan akan kebebasan yang luas. Bagi sebagian orang, ketertiban, aturan yang jelas, dan kepemimpinan yang kuat adalah jawaban atas segala kekacauan, sementara bagi yang lain, kebebasan individu dan partisipasi demokratis adalah nilai tertinggi. Namun, di luar perbedaan ideologi yang tampak, ada akar psikologis yang mendalam yang menjelaskan mengapa beberapa individu cenderung mendukung otoritarianisme, bahkan dalam masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Psikologi kepribadian otoriter adalah sebuah konsep yang telah lama dibahas, memberikan kita lensa untuk memahami kecenderungan ini. Lalu, apa sebenarnya profil psikologis individu yang condong pada kepemimpinan otoriter, dan bagaimana kecenderungan ini terbentuk serta memengaruhi kesehatan demokrasi kita? Mari kita selami misteri yang berpotensi membentuk masa depan politik.


Profil psikologis individu yang cenderung mendukung authoritarianism menampilkan serangkaian ciri yang menonjol. Individu-individu ini sering menunjukkan ketaatan yang tinggi terhadap figur otoritas, bahkan tanpa mempertanyakan legitimasi atau moralitas perintah yang diberikan. Mereka percaya pada pentingnya tradisi dan nilai-nilai konvensional, serta menolak inovasi atau perubahan sosial yang dianggap menyimpang dari norma yang sudah ada. Ada juga kecenderungan kuat untuk menunjukkan agresi atau permusuhan terhadap kelompok minoritas atau mereka yang dianggap "berbeda" (out-groups), yang seringkali dilihat sebagai ancaman terhadap ketertiban atau nilai-nilai yang mereka pegang. Kaku dalam berpikir dan memiliki pandangan dunia yang hitam-putih juga merupakan ciri khas; mereka sulit menerima ambiguitas atau nuansa dalam suatu masalah. Mereka mungkin menunjukkan sifat anti-introspeksi, yaitu kesulitan atau keengganan untuk melihat ke dalam diri dan merefleksikan motivasi atau emosi pribadi, seringkali memproyeksikan masalah internal pada orang lain. Selain itu, mereka sering memiliki kecenderungan pada sinisme, memandang dunia dengan kecurigaan dan melihat orang lain dimotivasi oleh kepentingan pribadi yang sempit. Terakhir, ada kekaguman yang berlebihan terhadap kekuasaan dan ketangguhan, baik pada diri mereka sendiri maupun pada pemimpin. Mereka cenderung mendukung pemimpin yang memproyeksikan citra kuat dan tidak berkompromi. Profil ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap authoritarianism bukan semata-mata pilihan politik, melainkan berakar pada struktur kepribadian yang lebih dalam.


Peran childhood experiences, atau pengalaman masa kanak-kanak, dalam membentuk political orientation seseorang telah lama menjadi subjek diskusi dalam psikologi. Teori awal, terutama yang berkaitan dengan kepribadian otoriter, menyoroti bagaimana pola asuh yang ketat, disipliner, dan seringkali didasari oleh rasa takut, dapat berkontribusi pada pengembangan kecenderungan otoriter. Dalam lingkungan rumah tangga di mana aturan diberlakukan tanpa penjelasan, dan hukuman diterapkan secara keras untuk setiap penyimpangan, anak-anak mungkin belajar untuk menekan agresi mereka terhadap orang tua dan, sebaliknya, mengalihkannya kepada orang lain yang lebih lemah atau berbeda. Mereka juga belajar untuk melihat dunia sebagai tempat yang hierarkis, di mana kekuatan dan kepatuhan adalah yang utama. Cinta dan penerimaan yang bersyarat, di mana kasih sayang hanya diberikan jika anak memenuhi ekspektasi tertentu, dapat memicu kebutuhan kuat untuk mencari validasi dari figur otoritas di kemudian hari. Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan semacam itu cenderung menginternalisasi figur otoritas yang kaku dan menghukum, yang pada gilirannya membentuk pandangan mereka tentang otoritas politik. Mereka mungkin merasa lebih aman di bawah kepemimpinan yang kuat dan tegas, yang menjanjikan ketertiban dan stabilitas, karena hal itu mencerminkan pengalaman mereka sendiri tentang struktur dan kontrol. Sebaliknya, pola asuh yang mendorong eksplorasi, otonomi, dan dialog terbuka cenderung memupuk nilai-nilai demokratis seperti toleransi dan berpikir kritis. Tentu saja, pengalaman masa kanak-kanak bukanlah satu-satunya penentu, namun ia membentuk fondasi psikologis yang dapat memengaruhi bagaimana individu menanggapi kepemimpinan dan nilai-nilai politik sepanjang hidup mereka.


Hubungan antara intolerance of ambiguity dengan preferensi politik merupakan aspek psikologis lain yang secara substansial memengaruhi kecenderungan politik individu. Intolerance of ambiguity adalah kecenderungan psikologis untuk merasa tidak nyaman atau cemas saat dihadapkan pada situasi yang tidak jelas, kompleks, tidak pasti, atau ambigu. Orang dengan tingkat intoleransi ambiguitas yang tinggi lebih menyukai struktur, kejelasan, dan jawaban yang pasti. Mereka merasa terancam oleh ketidakpastian dan cenderung mencari cara untuk menghilangkan kerumitan, bahkan jika itu berarti menyederhanakan realitas. Dalam konteks politik, kecenderungan ini memiliki implikasi yang signifikan. Individu dengan intolerance of ambiguity yang tinggi cenderung lebih tertarik pada narasi politik yang sederhana, pandangan dunia yang hitam-putih, dan pemimpin yang menawarkan solusi straightforward untuk masalah yang kompleks. Mereka mungkin kurang toleran terhadap perbedaan pendapat, ideologi yang beragam, atau kebijakan yang memerlukan kompromi dan nuansa. Sebaliknya, mereka akan lebih condong pada kepemimpinan yang kuat dan tegas, yang menjanjikan ketertiban dan menghilangkan ambiguitas dengan menetapkan aturan yang jelas dan tidak dapat diganggu gugat. Pemimpin yang memproyeksikan citra sebagai sosok yang tahu "jawabannya" dan mampu "mengatasi" masalah dengan cepat seringkali sangat menarik bagi individu-individu ini. Preferensi ini dapat mendorong dukungan terhadap sistem politik yang lebih otoriter, di mana keputusan dibuat oleh satu figur kuat, dan perbedaan pendapat ditekan demi keseragaman. Ini adalah dinamika psikologis yang menjelaskan mengapa daya tarik pada kepemimpinan otoriter seringkali meningkat di tengah ketidakpastian atau krisis sosial.


Mengapa krisis ekonomi meningkatkan dukungan terhadap strongman leaders adalah fenomena yang berulang dalam sejarah politik dan dapat dijelaskan melalui lensa psikologi. Krisis ekonomi, seperti yang pernah kita alami di paruh pertama dekade ini, menciptakan tingkat kecemasan, ketidakpastian, dan frustrasi yang sangat tinggi di masyarakat. Individu merasa keamanan finansial mereka terancam, pekerjaan mereka tidak pasti, dan masa depan tampak suram. Dalam kondisi psikologis yang rentan ini, masyarakat cenderung mencari solusi yang cepat dan tegas, serta figur kepemimpinan yang dapat memberikan rasa ketertiban dan stabilitas yang hilang. Strongman leaders atau pemimpin kuat, yang seringkali memproyeksikan citra ketegasan, efisiensi, dan kemampuan untuk "menyelesaikan masalah" dengan tangan besi, menjadi sangat menarik. Mereka menawarkan narasi yang sederhana: "Saya akan mengembalikan ketertiban," atau "Saya akan membuat segalanya menjadi lebih baik." Janji-janji ini, meskipun mungkin mengorbankan nilai-nilai demokratis seperti kebebasan berpendapat atau checks and balances, menjadi sangat menggiurkan bagi masyarakat yang dilanda kecemasan. Rasa frustrasi ekonomi juga dapat dengan mudah dialihkan menjadi kemarahan terhadap kelompok tertentu (misalnya, imigran, elit, atau pihak asing), dan strongman leader seringkali memanfaatkan hal ini dengan menawarkan "musuh" untuk disalahkan. Ketakutan akan kemerosotan ekonomi dapat membuat individu lebih bersedia untuk menukar sebagian dari kebebasan mereka demi janji keamanan dan kepemimpinan yang kuat. Ini adalah respons psikologis terhadap stres dan ketidakpastian yang dapat mengikis fondasi demokrasi dari dalam.


Cara memperkuat democratic psychological resilience di masyarakat adalah sebuah upaya esensial untuk menjaga nilai-nilai demokrasi dari daya tarik otoritarianisme. Resiliensi psikologis dalam konteks ini mengacu pada kemampuan individu dan masyarakat untuk menahan tekanan dari retorika otoriter dan mempertahankan komitmen pada nilai-nilai demokrasi seperti toleransi, pluralisme, dan berpikir kritis. Salah satu cara utama untuk membangun resiliensi ini adalah dengan mempromosikan berpikir kritis secara luas. Mengajarkan individu untuk menganalisis informasi secara cermat, mengidentifikasi bias, mempertanyakan otoritas (dengan hormat), dan mencari berbagai perspektif akan mengurangi kerentanan terhadap narasi yang terlalu sederhana atau manipulatif. Kedua, mendorong empati dan keterbukaan terhadap keberagaman. Ini berarti secara aktif berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang dan pandangan yang berbeda, dan berupaya memahami pengalaman mereka. Hal ini membantu mengurangi kecenderungan us vs them dan memupuk toleransi. Ketiga, membina partisipasi sipil dan keterlibatan komunitas. Ketika individu merasa memiliki saham dalam proses demokrasi dan memiliki suara dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal, mereka lebih mungkin untuk merasa diberdayakan dan memiliki komitmen terhadap sistem tersebut. Keempat, meningkatkan toleransi terhadap ambiguitas. Mengajarkan individu bahwa dunia itu kompleks, dan bahwa tidak semua masalah memiliki solusi yang cepat atau sederhana, dapat mengurangi daya tarik pada pemimpin yang menjanjikan jawaban tunggal. Kelima, memastikan adanya jaring pengaman sosial yang kuat. Mengurangi ketidakpastian ekonomi dan sosial dapat mengurangi tingkat kecemasan di masyarakat, sehingga mengurangi kebutuhan psikologis untuk mencari perlindungan pada pemimpin yang otoriter. Membangun resiliensi psikologis demokratis adalah investasi jangka panjang dalam masyarakat yang lebih stabil, inklusif, dan bebas.


Psikologi di balik dukungan terhadap authoritarianism adalah sebuah bidang yang kompleks namun krusial untuk dipahami. Kita telah menjelajahi profil psikologis individu yang cenderung mendukung otoritarianisme, peran pengalaman masa kanak-kanak dalam membentuk orientasi politik, hubungan antara intolerance of ambiguity dengan preferensi politik, serta mengapa krisis ekonomi dapat meningkatkan daya tarik pemimpin yang kuat. Namun, pemahaman ini bukan berarti tanpa harapan. Ada cara nyata untuk memperkuat democratic psychological resilience di masyarakat, melalui promosi berpikir kritis, empati, partisipasi, dan toleransi terhadap kompleksitas. Pada akhirnya, kesehatan demokrasi kita bergantung pada fondasi psikologis warganya. Doronglah diri Anda untuk terus berpikir kritis tentang bagaimana fenomena psikologis seperti ini memengaruhi hidup dan bagaimana kita bisa secara proaktif mencari solusi. Follow akun instagram @mindbenderhypno untuk berdiskusi bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Dikira Marah-marah Hanya karena Caps Lock: Absurditas Bahasa Digital Anak Muda

Pengaruh Musik Keras pada Emosi dan Mood

Beyond 9-to-5: Ciptakan Batasan Sehat & Work-Life Balance dengan Hipnoterapi