Bagaimana Algoritma dan Pikiran Kita Menciptakan Batas Politik

Internet, yang dielu-elukan sebagai jembatan yang menghubungkan seluruh umat manusia dan sumber informasi tak terbatas, mungkin secara paradoks justru membuat kita semakin terpecah belah dan kurang terinformasi secara politik. Sebuah pernyataan berani, mungkin kontroversial, namun semakin relevan di lanskap digital kita. Bagaimana mungkin platform yang dirancang untuk memperluas cakrawala kita justru membatasi pandangan kita? Jawabannya terletak pada konsep-konsep seperti echo chamber dan filter bubble, dua fenomena yang semakin disadari dampaknya terhadap politik digital. Lalu, bagaimana mekanisme psikologis dan teknologi ini bekerja untuk mengurung kita dalam gelembung informasi yang sempit, dan apa konsekuensinya bagi demokrasi serta pemahaman kita tentang dunia? Mari kita kupas tuntas tantangan baru di arena politik yang semakin terpaut dengan dunia digital ini.


Salah satu pendorong utama di balik fenomena ini adalah bagaimana algoritma media sosial secara substansial memperkuat bias politik. Pada masa ini, platform media sosial seperti Facebook dan Twitter telah menjadi sumber informasi politik yang substansial bagi banyak orang. Namun, di balik kenyamanan dan kemudahan akses ini, terdapat sebuah mekanisme yang mulai menunjukkan potensi untuk memperkuat bias politik: algoritma personalisasi. Algoritma ini dirancang untuk menunjukkan kepada pengguna konten yang paling relevan dan menarik bagi mereka, berdasarkan data perilaku masa lalu—misalnya, postingan yang pernah disukai, dibagikan, atau komentar yang pernah dibuat, serta daftar teman atau akun yang diikuti. Inti dari algoritma adalah untuk memaksimalkan engagement pengguna. Logikanya sederhana: semakin banyak konten yang disukai pengguna, semakin lama mereka menghabiskan waktu di platform. Untuk mencapai ini, algoritma cenderung menyajikan lebih banyak konten yang serupa dengan apa yang sudah disukai pengguna. Di sinilah siklus umpan balik (feedback loop) terbentuk: jika seorang pengguna sering berinteraksi dengan konten yang mendukung satu pandangan politik, algoritma akan menginterpretasikan ini sebagai preferensi dan akan menunjukkan lebih banyak konten dari pandangan yang sama. Ini menciptakan "siklus umpan balik" di mana pandangan yang ada terus diperkuat.

Algoritma juga memprioritaskan konten dari teman atau koneksi yang sering berinteraksi dengan pengguna. Karena manusia cenderung berteman atau terhubung dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa, ini secara natural akan membatasi paparan terhadap pandangan yang berbeda. Sisi lain dari personalisasi adalah penghilangan atau penurunan visibilitas konten yang tidak sesuai dengan preferensi yang diprediksi algoritma. Ini berarti pengguna mungkin tidak melihat argumen yang berlawanan atau berita dari sumber yang tidak mereka sukai secara unconscious, bahkan jika mereka secara sadar tidak menolaknya. Hal ini memiliki implikasi besar untuk konsumsi berita politik. Daripada terpapar spektrum penuh berita dan opini, pengguna secara unconsious diarahkan ke "versi" realitas politik yang dikurasi oleh algoritma, yang sangat mirip dengan pandangan mereka sendiri. Dampak penuh dari algoritma ini masih dalam tahap pemahaman, tetapi para analis sudah melihat bagaimana platform digital, dengan desain personalisasi mereka, secara tidak sengaja dapat menciptakan "gelembung" informasi yang memperkuat bias yang sudah ada, membuat pengguna lebih jarang bersentuhan dengan perspektif yang berbeda.


Pilar psikologis yang memperkuat fenomena echo chamber dan filter bubble adalah confirmation bias, atau bias konfirmasi. Ini adalah kecenderungan psikologis universal kita untuk mencari, menginterpretasikan, dan mengingat informasi dengan cara yang membenarkan kepercayaan atau pandangan yang sudah ada pada diri kita, sambil secara unconscious mengabaikan atau meremehkan informasi yang bertentangan. Dalam konsumsi berita politik, confirmation bias bekerja dengan beberapa cara. Ketika kita mencari berita atau informasi politik, kita cenderung secara aktif memilih sumber atau judul yang kita harapkan akan mendukung pandangan kita. Misalnya, jika Anda mendukung satu partai, Anda mungkin lebih sering membaca berita dari media yang diketahui bersimpati pada partai tersebut dan menghindari media yang kritis. Bahkan ketika dihadapkan pada informasi netral atau ambigu, kita cenderung menafsirkannya dengan cara yang sesuai dengan pandangan kita. Sebuah pernyataan kandidat dapat diinterpretasikan secara positif oleh pendukungnya dan negatif oleh penentangnya, meskipun isinya sama. Ini adalah bentuk "pemrosesan informasi yang termotivasi," di mana tujuan kita adalah untuk menjaga keyakinan kita. Kita lebih cenderung mengingat argumen atau bukti yang mendukung pandangan kita, dan melupakan atau meremehkan informasi yang bertentangan. Ini memperkuat keyakinan kita seiring berjalannya waktu.

Ketika dihadapkan pada bukti yang secara jelas bertentangan dengan keyakinan inti kita, confirmation bias dapat memicu "resistensi psikologis." Daripada mengubah pandangan, kita mungkin meragukan kredibilitas sumber, mencari-cari kelemahan dalam argumen yang berlawanan, atau bahkan memperkuat keyakinan kita sendiri sebagai respons. Ini dikenal sebagai backfire effect dalam beberapa konteks. Lingkungan digital memperparah confirmation bias. Algoritma media sosial dan mesin pencari yang mempersonalisasi konten kita membuat kita lebih mudah menemukan informasi yang sesuai dengan pandangan kita (dan lebih sulit menemukan yang tidak). Selain itu, kita cenderung berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa di jejaring sosial, menciptakan echo chamber di mana keyakinan kita terus-menerus divalidasi. Memahami confirmation bias adalah kunci untuk memahami mengapa polarisasi politik semakin terasa di dunia digital. Ini bukan hanya tentang kurangnya informasi; ini tentang bagaimana pikiran kita secara unconscious cenderung mengolah informasi untuk mempertahankan identitas dan pandangan yang telah terbentuk. Ini adalah tantangan mendalam bagi masyarakat yang menghargai dialog dan pemahaman lintas pandangan.


Fenomena political echo chamber, di mana individu hanya terpapar pada pandangan dan informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri, memiliki dampak psikologis yang signifikan dan merugikan, terutama dalam konteks polarisasi politik. Pada paruh pertama dekade ini, para ahli sudah mulai mengidentifikasi konsekuensi ini sebagai ancaman serius terhadap diskusi publik yang sehat. Dampak psikologis utama dari echo chamber meliputi: peningkatan kepastian diri (overconfidence). Ketika seseorang secara terus-menerus mendengar pandangan yang sama dari berbagai sumber dalam echo chamber mereka, keyakinan mereka terhadap pandangan tersebut akan meningkat drastis. Mereka mungkin mulai merasa bahwa pandangan mereka adalah satu-satunya kebenaran yang valid, dan bahwa semua orang yang "berakal sehat" harus setuju. Ini mengurangi kesediaan untuk mempertimbangkan perspektif lain. Dehumanisasi lawan politik juga kerap terjadi. Dalam echo chamber, lawan politik seringkali digambarkan secara karikatural atau bahkan direduksi menjadi stereotip negatif. Karena kurangnya interaksi atau paparan pada nuansa pandangan yang berbeda, mudah untuk melihat "mereka" (pihak lawan) bukan sebagai individu dengan motif yang valid, melainkan sebagai musuh yang perlu dikalahkan. Ini membuka jalan bagi retorika yang lebih agresif dan kurang empatik. Peningkatan emosionalitas dan afeksi negatif juga merupakan konsekuensi. Ketika pandangan seseorang terus-menerus divalidasi dan "musuh" dicarikan kesalahannya, hal ini dapat memicu emosi yang kuat seperti kemarahan, kebencian, atau ketakutan terhadap kelompok lain.

Lingkungan echo chamber seringkali mempromosikan afeksi negatif terhadap lawan politik, membuat diskusi konstruktif menjadi sangat sulit. Kurangnya nuansa dan kompleksitas pada masalah politik seringkali kompleks dengan banyak nuansa. Namun, dalam echo chamber, pandangan cenderung disederhanakan menjadi "hitam-putih" dan "baik-buruk". Ini mengurangi kapasitas individu untuk memahami kompleksitas masalah dan mencari solusi yang lebih kompromistis. Penguatan identitas kelompok juga terjadi. Echo chamber memperkuat identitas kelompok di sekitar pandangan politik yang sama. Meskipun identitas kelompok itu bermakna, ketika ini menjadi terlalu eksklusif dan antagonistik terhadap kelompok lain, hal itu dapat menghambat kerja sama lintas batas dan rasa komunitas yang lebih besar. Penurunan kepercayaan pada institusi juga bisa terjadi. Jika media arus utama atau lembaga lain dianggap sebagai bagian dari "pihak lawan" dalam echo chamber, kepercayaan terhadap institusi-institusi ini dapat menurun secara signifikan. Ini pada gilirannya dapat melemahkan fondasi demokrasi. Secara keseluruhan, political echo chamber menciptakan siklus umpan balik psikologis yang memperkuat bias, meningkatkan polarisasi, dan mengurangi kapasitas individu untuk terlibat dalam dialog sipil yang produktif. Ini adalah masalah yang memerlukan perhatian serius bagi kesehatan masyarakat politik.


Meskipun filter bubble dan echo chamber seringkali terbentuk secara unconscious melalui algoritma dan kecenderungan psikologis kita, bukan berarti kita tidak berdaya. Pada masa ini, kesadaran akan fenomena ini mulai mendorong diskusi tentang bagaimana individu dapat secara aktif berupaya keluar dari gelembung informasi mereka untuk mendapatkan perspektif yang lebih seimbang. Ini memerlukan upaya sadar dan perubahan kebiasaan konsumsi media. Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah diversifikasi sumber berita. Secara sengaja mencari dan membaca berita dari berbagai sumber yang memiliki reputasi, termasuk yang memiliki pandangan politik yang berbeda dari Anda. Bacalah tidak hanya dari media yang "ramah" pada pandangan Anda. Selalu verifikasi kredibilitas sumber berita. Apakah itu sumber berita yang teruji, atau blog opini yang tidak berdasar? Bedakan antara berita berbasis fakta dan artikel opini. Keduanya bermakna, tetapi memahami perbedaannya membantu Anda memproses informasi dengan benar. Selanjutnya, berinteraksi dengan perspektif berbeda secara sadar. Secara aktif mencari dan mengikuti akun di media sosial dari individu, organisasi, atau media yang memiliki pandangan politik yang berbeda dengan Anda. Ini akan memaksa algoritma untuk menyajikan konten yang lebih bervariasi di feed Anda. Jika memungkinkan, terlibatlah dalam diskusi online atau offline dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda. Tujuan utamanya adalah untuk memahami, bukan untuk memenangkan argumen. Bersikaplah terbuka untuk mempertimbangkan argumen yang bertentangan, bahkan jika pada akhirnya Anda tetap pada pandangan Anda sendiri. Tujuan utamanya adalah untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Anda juga bisa memanfaatkan alat bantu teknologi.

Beberapa browser extension (pada masa ini mungkin masih prototype atau terbatas) dirancang untuk menunjukkan bias berita atau menampilkan pandangan alternatif. Menggunakan mode penyamaran atau private Browse pada browser Anda dapat mengurangi personalisasi hasil pencarian dan rekomendasi konten yang mungkin dibentuk oleh riwayat penjelajahan Anda. Terakhir, tingkatkan literasi media dan kritis Anda. Selalu tanyakan mengapa sebuah berita disajikan dengan cara tertentu, siapa yang diuntungkan, dan apa motif di baliknya. Biasakan diri untuk mencari bukti pendukung dan fact-checking sebelum menerima sebuah informasi sebagai kebenaran mutlak. Keluar dari filter bubble adalah upaya yang berkelanjutan, tetapi sangat esensial untuk membangun masyarakat yang lebih terinformasi, toleran, dan mampu terlibat dalam dialog yang sehat. Ini adalah tanggung jawab setiap individu dalam lingkungan digital.


Pada masa ini, penyebaran misinformasi (informasi yang salah tetapi tidak sengaja) dan disinformasi (informasi yang salah dan sengaja dibuat untuk menipu) di platform digital telah menjadi kekhawatiran yang signifikan dalam politik. Kecepatan penyebarannya, ditambah dengan kecenderungan psikologis kita, menciptakan tantangan serius terhadap upaya fact-checking atau verifikasi fakta. Misinformasi menyebar dengan kecepatan dan jangkauan digital yang luar biasa. Media sosial memungkinkan misinformasi untuk menyebar dengan kecepatan yang tak tertandingi ke audiens yang luas. Sebuah berita palsu dapat menjadi viral dalam hitungan jam. Misinformasi seringkali dirancang untuk memicu emosi yang kuat (misalnya, kemarahan, ketakutan, atau solidaritas kelompok). Konten yang memicu emosi cenderung lebih sering dibagikan. Berbeda dengan media tradisional yang memiliki editor dan jurnalis sebagai penjaga informasi, media sosial memungkinkan siapa saja untuk menerbitkan dan menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Ada pula psychological resistance terhadap fact-checking. Ini adalah kecenderungan untuk memproses informasi dengan cara yang konsisten dengan motif atau kepercayaan yang kita miliki. Jika sebuah fact-check menantang kepercayaan politik inti seseorang, mereka mungkin menolak untuk menerimanya, mencari alasan untuk meragukan fact-checker, atau bahkan memperkuat keyakinan awal mereka.

Ketika seseorang dihadapkan pada informasi yang bertentangan dengan pandangan yang sangat mereka pegang, hal itu dapat menciptakan ketidaknyamanan psikologis (cognitive dissonance). Untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, mereka mungkin memilih untuk menolak informasi baru daripada mengubah pandangan mereka. Orang cenderung lebih mempercayai informasi dari sumber yang mereka kenal atau percayai (teman, keluarga, akun influencer favorit) daripada sumber yang tidak dikenal atau yang dianggap "lawan," bahkan jika sumber terpercaya tersebut menyebarkan misinformasi. Menerima fact-check yang menantang keyakinan kelompok dapat terasa seperti mengkhianati identitas kelompok sendiri. Ini membuat individu enggan untuk mengakui kesalahan atau menerima pandangan yang bertentangan dengan konsensus kelompok. Pengulangan sebuah klaim, bahkan jika itu salah, dapat membuatnya terasa lebih benar. Misinformasi yang sering dilihat di feed media sosial dapat menjadi terasa familiar dan, oleh karena itu, lebih mudah dipercayai. Fact-checking adalah alat yang krusial, namun efektivitasnya seringkali dibatasi oleh hambatan psikologis ini. Bagi merek politik dan organisasi yang ingin memerangi misinformasi, esensial untuk tidak hanya menyediakan fakta, tetapi juga memahami psikologi di balik mengapa orang menolak fakta, dan mencari cara untuk mengatasi hambatan tersebut dengan lebih efektif.


Dunia politik digital yang kita huni pada masa ini memang menawarkan janji konektivitas dan informasi, tetapi juga membawa tantangan besar dalam bentuk echo chamber dan filter bubble. Kita telah mengurai bagaimana algoritma media sosial secara unconscious memperkuat bias politik, peran mendalam dari confirmation bias dalam konsumsi berita, dampak psikologis dari political echo chamber terhadap polarisasi, serta cara-cara konkret untuk keluar dari gelembung informasi kita. Terakhir, kita telah membahas fenomena misinformasi dan mengapa secara psikologis kita sering resisten terhadap fact-checking. Untuk membangun masyarakat yang lebih terinformasi dan mampu berdialog secara konstruktif, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk secara sadar mencari perspektif yang seimbang dan kritis terhadap informasi yang mereka terima. Doronglah diri Anda untuk terus berpikir kritis tentang bagaimana fenomena psikologis seperti ini memengaruhi hidup dan bagaimana kita bisa secara proaktif mencari solusi. Follow akun instagram @mindbenderhypno untuk berdiskusi bersama.

Comments

Popular posts from this blog

Dikira Marah-marah Hanya karena Caps Lock: Absurditas Bahasa Digital Anak Muda

Pengaruh Musik Keras pada Emosi dan Mood

Beyond 9-to-5: Ciptakan Batasan Sehat & Work-Life Balance dengan Hipnoterapi